Berikut saya akan bagikan materi kuliah hukum
perdata, yang saya ringkas materinya dari buku karangan
Prof. Subketi. S.H. yaitu buku "Pokok-Pokok
Materi Hukum Perdata.
I. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Perkataan
"Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum
"privat materiil", yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan "perdata" juga lazim
dipakai sebagai lawan dari "pidana".
Ada juga orang memakai perkataan "hukum
sipil" untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan
"sipil" itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari
"militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum
perdata" untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya
dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum dagang," seperti
dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan
(kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang,
Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum
Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
II. SISTEMATIK HUKUM PERDATA
Adanya Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, disingkat W.v.K.) di samping Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.) sekarang dianggap tidak pada tempatnya,
karena Hukum Dagang sebenarnya tidaklah lain dari Hukum Perdata. Perkataan
"dagang" bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian
perekonomian. Di berbagai negeri yang modern, misalnya di Amerika Serikat dan
di Swis juga, tidak terdapat suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersendiri
di samping pembukuan Hukum Perdata seumumnya. Oleh karena itu, sekarang
terdapat suatu aliran untuk meleburkan Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu ke
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Memang, adanya pemisahan Hukum Dagang dari Hukum
Perdata dalam perundang-undangan kita sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah
saja, yaitu karena di dalam hukum Rumawi — yang merupakan sumber terpenting
dari Hukum Perdata di Eropah Barat — belumlah terkenal Hukum Dagang sebagaimana
yang ter-
letak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang kita
sekarang, sebab memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru
mulai berkembang dalam Abad Pertengahan.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim
dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum
tentang diri seseorang,
2. Hukum
Kekeluargaan,
3. Hukum
Kekayaan dan
4. Hukum
warisan.
Hukum tentang diri seseorang , memuat
peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
Hukum Keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta
hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan
seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu,
dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian itu,
biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi
atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak
mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu fihak yang
tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang
atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu
pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai
sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
Hukum Waris,
mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal.
Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan' keluarga
terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang
setengah-setengah ini, Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersendiri.
Bagaimanakah
sistematik yang dipakai oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
B.W. itu terdiri atas empat buku, yaitu :
Buku I, yang berkepala "Perihal Orang",
memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga;
Buku
II yang berkepala "Perihal Benda", memuat hukum perbendaan serta
Hukum Waris;
Buku III yang berkepala "Perihal
Perikatan", memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang
tertentu;
Buku IV yang berkepala "Perihal Pembuktian dan
Lewat waktu (Daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat
lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Sebagaimana
kita lihat, Hukum Keluarga di dalam B.W. itu dimasukkan dalam bagian hukum
tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh
besar terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya
untuk mempergunakan hak-haknya itu. Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian
tentang hukum perbendaan, karena dianggap Hukum Waris itu mengatur cara-cara
untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan
seseorang. Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) sebenarnya adalah
soal hukum acara, sehingga kurang tepat dimasukkan dalam B.W. yang pada asasnya
mengatur hukum perdata materiil. Tetapi pernah ada suatu pendapat, bahwa hukum
acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan bagian formil. Soal-soal yang
mengenai alat-alat pembuktian terhitung bagian yang termasuk hukum acara
materiil yang dapat diatur juga dalam suatu undang-undang tentang hukum perdata
materiil.
III. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti
pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa
tiap manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada
budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja. Peradaban
kita sekarang sudah sedemikian majunya, hingga suatu perikatan pekerjaan yang
dapat dipaksakan tidak diperbolehkan lagi di dalam hukum. Seorang yang tidak
suka melakukan suatu pekerjaan yang ia harus lakukan menurut perjanjian, tidak
dapat secara langsung dipaksa untuk melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia
hanya dapat dihukum untuk membayar kerugian yang berupa uang yang untuk itu
harta bendanya dapat disita. Karena memang sudah menjadi suatu asas dalam Hukum
Perdata, bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala
kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian perdata", yaitu suatu
hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi
— tidak terdapat dalam hukum sekarang ini (pasal 3 B.W.). Hanya-
lah mungkin, seseorang — sebagai hukuman — dicabut
sementara hak-haknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap
anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan
bersenjata dan sebagainya.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari
saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Malahan, jika perlu
untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada di
dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal mana penting
sekali berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada suatu waktu, di mana
orang itu masih berada di dalam kandungan.
Meskipun menurut hukum sekarang ini, tiap orang
tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidak
semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu.
Berbagai golongan orang, oleh undang-undang telah dinyatakan "tidak cakap,"
atau "kurang cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan
hukum. Yang dimaksudkan di sini, ialah orang-orang yang belum dewasa atau
masih kurang umur dan orang-orang yang telah ditaruh di bawah pengawasan
(curatele), yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya atau
kuratornya.
IV. HUKUM PERKAWINAN
1. Arti dan syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk
Wetboek.
Apakah artinya itu? Pasal tersebut hendak
menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Burgerlijk
Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Suatu asas
lagi dari B.W., ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk ketertiban umum,
artinya bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang
dilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :
a. kedua
pihak harus telah mencapai umur yang ditetap-
kan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki
18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;
b. harus ada persetujuan
bebas antara kedua pihak;
c. untuk
seorang perempuan yang sudah pernah kawin
harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan per-
kawinan pertama;
d. tidak
ada larangan dalam undang-undang bagi kedua
pihak;
e. untuk
pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin
dari orang tua atau walinya. *)
Tentang hal larangan untk kawin dapat diterangkan,
bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara
tiri; seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang
kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
Suami-isteri
harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam bersama-sama, saling
memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai
suatu "perkumpulan" (echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi
kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama di samping
berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman bersama,
melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand)
kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan
ini, berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seorang
perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum.
Kekuasaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan "maritale
macht" (dari bahasa Perancis mari = suami).
3. Percampuran kekayaan
Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran
antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen),
jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa Keadaan yang demikian itu berlangsung
seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. *) Jikalau orang ingin
menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam
suatu "perjanjian perkawinan" (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian
yang demikian ini, harus diadakan sebelumnya pernikahan
4. Perjanjian perkawinan
Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda
yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu
warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden).
Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya pernikahan
dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut,
sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, kepada
kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua
larangan yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itu tidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat
menyingkirkan suatu benda saja (misalnya satu rumah) dari percampuran
kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang hanya
menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian
"percampuran laba rugi" ("gemeenschap van winst en
verlies") dan perjanjian "percampuran penghasilan"
('gemeenschap van vruchten en inkomsten"").
Pada umumnya seorang yang masih di bawah umum, yaitu
belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sen-
diri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau
walinya. Tetapi untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang
diadakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa di sini,
diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus "dibantu"
("bijgestaan") oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan
memberi izin kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu
salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh
undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun mungkin perkawinannya
sendiri — yang baru kemudian dilangsungkan — sah. Selanjutnya diperingatkan,
apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan
orang tua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka
perjanjian itu batal dan pembuatan perjanjian itu harus diulangi di depan
notaris, sebab orang yang nanti harus memberi izin untuk melangsungkan
perkawinan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat perjanjian
perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat.
5. Perceraian
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal.
Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin
hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga
sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan
dapat dihapuskan dengan perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan
permufakatan saja antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah.
Alasan-alasan ini ada empat macam :
a) zina (overspel);
b) ditinggalkan dengan
sengaja (kwaadwillige verlating);
c)
penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan dan
d)
penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209 B.W.).
Undang-undang Perkawinan menambahkan dua alasan, u.
salah satu pihak mendapat cacad badan/penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; I). antara suami isteri
terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada
hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan
meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini
diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan
kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri
dapat memberikan ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan izin
pada si isteri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya,
memerintahkan supaya si suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada isterinya
serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya. Juga hakim
dapat memerintahkan supaya kekayaan suami atau kekayaan bersama disita agar
jangan dihabiskan oleh suami selama perkara masih bergantung.
Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim
diselundupi dengan cara mendakwa si suami telah berbuat zina. Pendakwaan itu
lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan perkawinan
telah dapat "dibuktikan" di muka hakim.
Gemeenschap hapus dengan perceraian dan selanjutnya
dapat diadakan pembagian kekayaan gemeenschap itu (scheiding en deling).
Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut
perjanjian tersebut.
6. Pemisahan kekayaan
Untuk
melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas
kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan
pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan
kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri
:
a)
apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik,
mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga;
b)
apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si
isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)
apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan
kehilangan tanggungan yang oleh Undang-undang diberikan padanya atas kekayaan
tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan
isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus
diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan
hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak
ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si suami. Mereka
itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan kekayaan.
Selain
membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim berakibat pula, si isteri memperoleh
kembali haknya untuk mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan
segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum
diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak
sendiri dalam hukum.
No comments:
Post a Comment