Social Icons

Friday, March 29, 2013

Pelarangan Kasasi atas Vonis Bebas Dibatalkan

Putusan ini mengukuhkan praktik yang selama ini berjalan.
ASH/NOV

Pro kontra praktik kasasi atas vonis bebas akhirnya disudahi. MK memutuskan bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi. Hal ini terjadi setelah MK mengabulkan sebagian ketentuan Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur larangan putusan bebas diajukan upaya hukum banding atau kasasi.

MK membatalkan frasa "kecuali terhadap putusan bebas" dalam Pasal 244 KUHAP itu. Ini artinya, setiap putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi.

"Menyatakan frasa 'kecuali terhadap putusan bebas' dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya

Permohonan ini diajukan Idrus, seorang pensiuan PNS Pemkab Pasaman Sumatera Barat yang terbelit kasus korupsi. Ia menilai pasal itu bersifat multitafsir dan tidak tegas yang mengakibatkan pemohon kehilangan jaminan kepastian hukum yang adil.

Adanya frasa "..kecuali terhadap putusan bebas" dalam Pasal 244 KUHAP tidak memberikan larangan yang tegas bagi penuntut umum untuk mengajukan kasasi. Akibatnya, pemohon dalam posisi tidak mendapatkan kepastian hukum apakah penuntut umum boleh mengajukan kasasi atau tidak.

Menurut pemohon, putusan Pengadilan Tipikor Padang yang telah membebaskan pemohon seharusnya sudah final. Sebab, sesuai Pasal 244 KUHAP penuntut umum tidak bisa melakukan upaya hukum kasasi. Namun, faktanya penuntut umum bisa melakukan upaya kasasi sepanjang putusan bebas itu dianggap sebagai bukan bebas murni.

Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan frasa "kecuali terhadap putusan bebas" dalam Pasal 244 KUHAP karena bertentangan dengan UUD 1945. Atau menyatakan Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali sepanjang diartikan dengan tegas melarang jaksa mengajukan kasasi baik dengan alasan bebas murni maupun bebas tidak murni.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP tidak memberikan upaya hukum biasa (kasasi) terhadap putusan bebas. Ini berarti fungsi MA sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya sama sekali ditiadakan.

"Tanpa bermaksud menilai putusan MA, kenyataan selama ini beberapa putusan bebas tidak diajukan banding (Pasal 67 KUHAP), tetapi bisa diajukan kasasi dan MA mengadilinya. Padahal, Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak boleh diajukan kasasi. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik," kata Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki.

Karena itu, guna menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, Mahkamah perlu menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP khususnya frasa "kecuali terhadap putusan bebas."

Meski begitu, Mahkamah menegaskan putusan ini tidak membuat status hukum baru terhadap putusan MA yang telah diputus sebelumnya. Sebab, sesuai Pasal 47 UU MK, setiap putusan MK berkekuatan hukum mengikat sejak diucapkan atau tidak berlaku surut. Lagipula, MK juga tidak berwenang menilai putusan MA.

"Putusan bebas yang diajukan kasasi, tidak boleh diartikan MA pasti menyatakan terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana. Bisa saja MA sependapat dengan pengadilan di bawahnya. Artinya terdakwa tetap dibebaskan dalam putusan kasasi," kata Akil mengingatkan.

Dalam putusan ini, salah satu Hakim Kontitusi Harjono mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Menurutnya, Pasal 244 jo Pasal 67 KUHAP merupakan perlindungan HAM terhadap mereka yang haknya pernah dilanggar karena pernah menjadi terdakwa. Perlindungan seseorang yang telah diputus bebas tidak hanya melarang pengajuan banding, terdakwa berhak menuntut ganti rugi seperti diatur Pasal 68 jo Pasal 95 KUHAP.

"Dihilangkannya frasa 'kecuali terhadap putusan bebas' dalam Pasal 244 KUHAP secara fundamental telah merobohkan sistem KUHAP, yang implikasinya akan memandulkan banyak pasal KUHAP yang lain, padahal penghilangan itu tidak ada dasar konstitusionalnya," kata Harjono.

Direktur Litigasi Kemenkumham Mualimin Abdi mengatakan putusan MK ini seolahmengukuhkan praktik yang selama ini berjalan. Namun ia menilai putusan ini akan mengakibatkan proses peradilan menjadi makin panjang.Ketika seorang terdakwa sudah dinyatakan bebas, masih dibuka peluang jaksa untuk mengajukan kasasi. "Pasal 244 KUHAP itu sebenarnya untuk melindungi seseorang, kalau sudah dinyatakan bebas seharusnya sudah dong," katanya.

Terpisah, Wakil Jaksa Agung Darmono menyambut baik putusan ini. Menurutnya, ini adalah salah satu sarana kontrol agar hakim tak gampang menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa. "Karena masih ada sarana kontrol berupa upaya hukum atas semua putusan pengadilan."

Sumber : http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt515443599911e/pelarangan-kasasi-atas-vonis-bebas-dibatalkan
Powered by Telkomsel BlackBerry®

»»  Baca Selanjutnya...

Monday, March 18, 2013

Macam - Macam Penggolongan Hukum

Berikut ini adalah sedikit informasi tentang macam-macam penggolongan hukum, yakni :

1. Hukum berdasarkan sumbernya

Sumber Formal
Sumber formal yaitu sumber hukum yang dilihat dari segi pembentukannya, di antaranya adalah :
- Undang-Undang (UU). Undang-Undang (UU) merupakan suatu bentuk peraturan yang dibuat dan di sahkan oleh pihak-pihak yang berwenag.
- Hukum Kebiasaan. Hukum kebiasaan merupakan hukum yang terbentuk dengan sendirinya oleh masyarakat melalui peraturan yang tidak tertulis.
- Yurisprudensi Yaitu sumber hukum yang berasal dari putusan hakim dan memiliki kekuatan memikat.
- Traktat. Traktat adalah perjanjian antar negara.
- Doktrin Doktrin adalah pendapat dari parah ahli hukum.
Sumber materil sumber materil yaitu sumber yang menentukan isi hukum berupa perasaan hukum,keyakinan hukum individual, pendapat umum dll. Doktrin bersifat adil, dan bersifat riil
2. Hukum berdasarkan bentuknya
- Hukum Tertulis, yaitu semua peraturan yang di bukukan dan tertulis serta di sahkan oleh pihak-pihak yang berwenang.
- Hukum Tidak tertulis adalah hukum yang di buat oleh masyarakat melalui peraturan yang tidak tertulis contoh: Hukum adat.
3. Hukum berdasarkan isinya. Berdasarkan isinya, hukum terbagi dua, yaitu :
- Hukum Privat
- Hukum Public.

4. Hukum berdasarkan tempat berlakunya. Hukum berdasarkan tempat
berlakunya juga terbagi dua, yaitu :
- Hukum Nasional
- Hukum Internasional.
5. Hukum berdasarkan masa berlakunya, dibagi menjadi ;
- Hukum positif
- Hukum yang di cita-citakan
- Hukum universal

6. Hukum berdasarkan cara mempertahankannya
- Hukum materil
- Hukum formal

7. Hukum berdasarkan sifatnya, yaitu bersifat memaksa

8. Hukum berdasarkan wujudnya terbagi dua, yaitu :
- Hukum objektif
- Hukum Subjektif.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
»»  Baca Selanjutnya...

Sunday, March 3, 2013

Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?

Banyak sekali perusahaan yang mencoba menjebak dan mengakali para buruh yang tidak mengerti dengan membuat kesepakatan upah di bawah upah minimun, penjelasan yg saya kutip dari hukumonline.com sebagai berikut
1. Menurut Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UU Ketenagakerjaan") pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota (yang sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).
 
2. Larangan tersebut, menyangkut beberapa aspek hukum, baik perdata maupun pidana, dan –bahkan- aspek hukum administrasi.
a.    Dari aspek hukum pidana, kesepakatan (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun dan/atau denda antara Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
b.    Dari aspek hukum perdata, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan dan Pasal 1320 ayat 4 jo Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUH Perdata"), bahwa kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian kerja, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atau dengan perkataan lain, kesepakatan (konsensus) para pihak causa-nya harus halal, dalam arti suatu causa terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang. Dengan demikian memperjanjikan upah di bawah upah minimum (UMR/UMS) adalah null and void, batal demi hukum (vide Pasal 52 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
c.    Dari aspek hukum administrasi, berdasarkan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003 dan Pasal 2 ayat (3) Permenekartrans. No. Per-01/Men/I/2006, bahwa apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum dan ada –telah- kesepakatan untuk –membayar- menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum, maka kesepakatan tersebut (antara pekerj/buruh dengan pengusaha) harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang berwenang (dalam hal ini Gubernur setempat). Dengan kata lain, walau telah ada kesepakatan, apabila tidak/belum mendapat persetujuan (penangguhan) tidak dapat diterapkan.
 
3. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dengan demikian, atas dasar kesepakatan saja (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) tidak cukup sebagai dasar untuk membayar upah menyimpang dari ketentuan upah minimum yang ditentukan. Hemat saya, upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan efisiensi dalam segala hal dengan meningkatkan produktivitas.
 
4. Sekedar untuk dipahami, bahwa pada prinsipnya besaran upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur (UMR/UMS) untuk suatu periode tertentu bukanlah merupakan dasar pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan standar upah untuk pekerja/buruh tertentu, yakni:

a.    pada level jabatan atau pekerjaan (job) terendah (vide Pasal 14 ayat [1] Permenaker Nomor Per-01/Men/1999);

b.    masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama (vide Pasal 14 ayat [2] Permenaker Nomor Per-01/Men/1999); dan/atau

c.    masih lajang (vide Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012)
Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang level jabatannya lebih tinggi (di atas job yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau telah mempunyai tanggungan (secara resmi), maka besaran upahnya tentu bukan lagi standard UMR/UMS, akan tetapi harus disesuaikan berdasarkan struktur dan skala upah (vide Pasal 1 angka 2 dan 3 Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003)
 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

»»  Baca Selanjutnya...