Social Icons

Sunday, February 9, 2014

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN DI LUAR PENGADILAN

SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DAN KERANGKA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Sengketa lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu (Bedner 2007): 1) sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; 2) sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan 3) sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan.
Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan.
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau dugaan adanya pencemaran dan atau perisakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan  “Dispute a conflict or conroversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa inggrisnya pun beragam :“dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.[1] Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 25 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini telah dijamin dalam undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Hal yang sama juga diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya, yakni UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) dan UU No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUKPPLH 1982).
Khusus terhadap penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan diluar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini[2].
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 membawa perkembangan berarti bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia dengan diakuinya hak-hak prosedural penyelesaian sengketa lingkungan dilakukan di dalam maupun di luar pengadilan, berikut ini akan disajikan model-model penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang meliputi :
1)       Penyelesaian Di Dalam Pengadilan (Litigasi)
Suyud Margono berpendapat bahwa litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritulisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan (Suyud Margono, 2004:23).
Litigasi sangat formal terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Kelebihan dari litigasi adalah proses beracara jelas dan pasti sudah ada pakem yang harus diikuti sebagai protap. Adapun kelemahan litigasi adalah proses lama, berlarut-larut untuk mendapatkan putusan yang final dan mengikat menimbulkan ketegangan antara pihak permusuhan; kemampuan pengetahuan hukum bersifat umum; tidak bersifat rahasia; kurang mengakomodasi kepentingan yang tidak secara langsung berkaitan dengan sengketa (dalyerni. multiply.com).
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi adalah sebagai berikut :
a)        Jika para pihak gagal mencapai kespakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat dalam suatu proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
b)        Catatan mediator wajib dimusnahkan
c)        Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses perkara yang bersangkutan.
d)        Mediator tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan”  berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (“onrechtmatigedaad”).
Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah dalam berperkara di pengadilan besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah :
  1. membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld”) dan unsur hubungan kausal.[3]  Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya.
  2. Masalah beban pembuktian (“bewijslast” atau “burde of proof”) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat.[4]  Padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat (seperti dalam “Tragedi Ajinomoto” di Mojokerto).
Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatannya.[5]  Menyadari kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan(privaatrechtelijk miliuerecht) mengenal asas tanggunggugat mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid) yang dianut pula oleh Pasal 88 UUPPLH. Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat.
Apakah asas “strict liability” diterapkan untuk semua gugatan lingkungan?
Asas “strict liability” lazimnya hanya diimplementasikan pada “types of situation” tertentu (kasuistik), termasuk “types of situation” bagi berlakunya “strick liability” adalah “extra-hazardous activities” yang menurut pasal 88 UUPPLH meliputi sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang :
  1. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
  2. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan atau,
  3. Menghasilkan limbah B-3.
  4. Kegiatan pengelolaan zat dan limbah radioaktif berdasarkan Pasal 28 Undang-undang nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
  5. Pencemaran lingkungan laut di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sedasar Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia.
  6. Pencemaran minyak di laut (wilayah) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability Oil Pollution Damage – CLC (vide penyempurnaanya tahun 1992) jo Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund Convention).
Ukuran dampak besar dan penting tentu sangat saintifik dan membutuhkan pengaturan hukum yang cermat demi terjaminnya kepastian hukum.
Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah untuk memenuhi rasa keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.[6]
2)     Penyelesaian Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien. Hal mana mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak sedikit. Hal ini disebabkan proses penyelesaian sengketa lambat, biaya beracara di pengadilan mahal, pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan sering tidak mampu menyelesaikan masalah dan penumpukan perkara ditingkat Mahkamah Agung yang tidak terselesaikan.
Sementara itu, dalam persidangan perdata di Indonesia, kapan perkara dapat terselesaikan secara normatif tidak ada aturan hukum yang jelas, sehingga bagi yang beritikad buruk akan semakin lama menikmati sesuatu kebendaan yang bukan miliknya, sebaliknya yang beritikad baik akan semakin menderita kerugian oleh karena suatu sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu terkait dengan beban pembuktian dalam proses penyelesaian melalui litigasi merupakan kewajiban penggugat sebagaimana dijelaskan diatas, padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah.
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bagi bangsa Indonesia telah ada sebelum kita merdeka. Dalam Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda yang bernama Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV). Ketentuan ini tetap berlaku sebelum ada peraturan yang baru, sebab peraturan Undang-Undang Dasar 1945 tetap mengakui keberadaannya sebelum diganti oleh peraturan yang baru.
Perkembangan yang terjadi setelah Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV), pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional, seperti konvensi Washington dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1968, Konvensi New York diratifikasi dalam Keppres Nomor 34 Tahun 1981.
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian sengketa di luar pengadilan tetap diakui keberadaannya oleh pemerintah dengan memasukkannya dalam salah satu pasal Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan  Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan. Selain itu penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang –undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian.
Pemerintah sepenuhnya dalam menindaklanjuti ketentuan dalam pasal 3 dan 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut, maka pemerintah mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pemerintah pada tahun 1999 mengundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase secara tegas menyatakan sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan  diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
Khusus terhadap sengketa lingkungan hidup, pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dilakukan melalui sebuah lembaga baik yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 yang dinyatakan bahwa, lembaga jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sementara itu, lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dan berkedudukan di instansi yang betanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan (pasal 8 ayat 1,2, dan 3).
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya. Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan dan/atau menjamin adanya tindakan guna mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tersebut dapat difasilitasi melalui jasa pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, seperti pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah dan masyarakat dalam hal ini dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan.
Adapun bentuk penanganan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat melalui  Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan fact finding. Berikut akan dijelaskan masing-masing bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
a.        Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan  untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Menurut Frank Elkoury arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Sedangkan menurut Prof. Gary Goodpaster “arbitration is theprivete adjuducaticn of dispute parties, anticipating possible dispute or experience an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion selec.”
Menurut UUNo. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas, pada dasamya terdapat kesamaan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh orang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit yang ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara rnusyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.
Menurut Felix OS ada beberapa alasan mengapa para pihak menggunakan arbitrase, yaitu:
a).       Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan. Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagang dan investor sebab memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat has kepada mereka. Secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga menghindari kemungkinan pihak lokal dari mereka yang terlibat dalam satu perkara.
b).      Wasit/arbiter memiliki keahlian (expertise). Para pihak seringkali memilih arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap keahlian arbiter mengenai persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka menyerahkan penyelesaian kepada pihak pengadilan yang telah ditentukan. Lebih cepat dan hemat biaya. Proses pengadilan keputusan arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal dan lebih murah daripada proses litigasi di pengadilan.
c).       Bersifat rahasia. Proses pengambilan keputusan dalam lingkungan arbitrase bersifat privat dan bukan bersifat umum, sehingga hanya para pihak yang bersengketa saja yang tahu.
d).      Adanya kepekaan arbiter/wasit. Arbiter dalam pengambilan keputusan lebih mempertimbangkan sengketa sebagai bersifat privat dari pada bersifat umum/publik. Hal ini berbeda dengan di pengadilan yang lebih mengutamakan kepentingan umum.
e).       Pelaksanaan putusan lebih mudah dilaksanakan. Dalam perikatan arbitrase ada dua macam klausula arbitrase, yaitu Pactum de Compromitendo dan Acta Cimpromise. Klausula Pactum de compromitendo dibuat sebelum persengketaan terjadi, bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau dalam suatu perjanjian yang tersendiri di luar perjanjian pokok. Sedangkan Acta compromise dibuat selelah terjadi sengketa yang berkenaan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Jadi klausula ini ada setelah sengketa terjadi dan kedua belah pihak setuju bahwa sengketa yang terjadi akan diselesaikan dengan arbitrase.
Dari bentuknya di Indonesia dikenal dua macam lembaga arbitrase, yaitu arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc.
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sifatnya permanen dan melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, dan pengangkatan para arbiter.
Arbitrase Ad Hoc atau arbitrase volunter adalah badan arbitrase yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan/memutuskan perselisihan tertentu sesuai kebutuhan saat itu. Setelah selesai tugasnya badan ini bubar dengan sendirinya.
Ciri- ciri arbitrase antara lain :
(1)     Adanya pihak ketiga netral yang terdiri dari seorang atau panel dari arbiter.
(2)     Argumentasi dalam arbitrase dapat disampaikan baik lisan maupun tertulis dengan dokumen tertentu sebagai bukti.
(3)     Keputusan arbutrase bersifat mengikat
(4)     Dalam arbitrase terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan provisional relief, initiating arbitrations, dan law applied by the arbitrator (Nolan-Haley,1991:128,149-155)[7]
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup menggunakan arbitrase secara teoritis memang lebih cepat dan “murah” dan dengan prosedur yang sederhana namun pilihan ini kadang dirasa kurang tepat dikarenakan arbitrase menyerupai dengan pengadilan, sehingga keputusan yang diambil bisa saja tidak menimbulkan kepuasan dari kedua belah pihak dan win-win solutions tidak dapat tercapai.
Badan arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah Badan Arbitrase Indonesian (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri pada tanggal 3 Desember 1977 dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia(BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 21 Oktober1993.
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada prinsipnya mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan, yaitu : tahap persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan  perkara.  Tahap  persiapan antara lain meliputi :
1)        Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis;
2)        Penunjukan arbiter;
3)        Pengajuan    surat    tuntutan    oleh pemohon;
4)        Jawaban surat tuntutan oleh termohon;
5)        Perintah  arbiter  agar  para  pihak menghadap sidang arbitrase.
Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter.
Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan sebagai tahap terakhir, yaitu tahap untuk merealisasikan putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan negeri.
Adapun mekanisme  arbitrase  menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
  1. Permohonan arbitrase dilakukan dalam bentuk     tertulis     dengan     cara menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase yang memuat identitas para pihak, uraian singkat tentang sengketa yang disertai dengan lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat tuntutan   dan   surat   permohonan tersebut disampaikan kepada termohon yang    disertai    perintah    untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak   diterimanya   tuntutan   oleh termohon,    selanjutnya    diteruskan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah tersebut.
  2. Pemeriksaan sengketa arbitrase harus dilakukan   secara   tertulis,   kecuali disetujui para pihak maka pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis  arbitrase  dilakukan  secara tertutup. Jumlah arbiter harus ganjil, penunjukan 2 (dua) arbiter dilakukan oleh para pihak yang memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
  3. Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak apabila diperlukan.
  4. Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar kesaksiannya yang sebelumnya disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat memberikan keterangan tertulis atau didengar keterangannya di muka sidang arbitrase yang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
  5. Putusan arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, putusan tersebut harus diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, yang dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain.
Adapun syarat menjadi arbiter sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut :
  1. cakap melakukan tindakan hukum;
  2. berumur paling rendah 35 tahun;
  3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
  4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
  5. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
b.        Mediasi
Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Orang yang menjadi penengah disebut mediator. “ Mediation is private , informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties (Hendry Campbell Black)[8]Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, apabila antara kedua pihak tidak dapat menyelesaikan sendiri sengketa yang mereka hadapi, mereka dapat menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka mencapai persetujuan atau kesepakatan. Mediasi sendiri diatur dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Di dalam mediasi, seorang mediator mempunyai 2 macam peran yang dilakukan, yaitu pertama, mediator berperan pasif. Hal ini berarti para pihak sendiri yang lebih aktif untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi sehingga peran mediator hanya sebagai penengah, mengarahkan penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Kedua, mediator berperan aktif. Hal ini berarti mediator dapat melakukan berbagai tindakan seperti merumuskan dan mengartikulasi titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan dan memberikan pengertian kepada kedua belah pihak tentang penyelesaian sengketa. Dengan demikian seorang mediator diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut karena kedua pihak yang bersengketa bersifat menunggu.
Dalam proses mediasi yang dituntut dari mediator adalah kemampuan untuk memahami seluruh aspek kepentingan yang disengketakan dan kemampuan memfasilitasi proses pencapain masalah. Mediasi sebenarnya merupakan proses perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa dimana pihak-pihak tersebut secara aktif melakukan tawar-menawar untuk menyelesaikan masalah dengan bantuan mediator sebagai fasilisator.
Mediasi diatur dalam pasal 85 dan 86 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi dinilai merupakan langkah terbaik melihat bahwa keputusan hasil perundingan mediasi merupakan responsif atas permasalahan yang disengketakan disamping melihat pada segi biaya dan waktu yang relatif lebih minimal.
Dari uraian tersebut dapat disampaikan bahwa ciri-ciri dan syarat penyelesaian  sengketa  lingkungan hidup melalui mediasi adalah :
Ciri-ciri :
(1)     Perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
(2)     Pihak ketiga netral tersebut dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
(3)     Tugas mediator adalah memberikan bantuan substansial dan prosedural, dan terikat pada kode etik sebagai mediator.
(4)     Mediator tidak berwenang mengambil keputusan. Keputusan diambil oleh pihak yang bersengketa itu sendiri.
Syarat :
(1)     Adanya kekuatan tawar menawar yang seimbang antara para pihak
(2)     Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan dimasa depan
(3)     Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
(4)     Adanya urgensi untuk menyelesaikan secara cepat
(5)     Tidak adanya rasa pemusuhan yang mendalam atau yang telah berlangsung lama di antara para pihak
(6)     Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan dapat dikendalikan
(7)     Membuat suatu preseden atau mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan dengan penyelesaian sengketa yang cepat
(8)     Jika para pihak berada dalam proses litigasi, maka kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti pengecara atau penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, mediasi akan menguntungkan kedua belah pihak, selain proses penyelesaiannya yang cepat dan biaya murah. Selain bergantung kepada mediator, hasil dari negosiasi dapat juga dikatakan gagal apabila ada salah satu pihak yang  melakukan pengingkaran terhadap hasil mediasi.
Mekanisme    penyelesaian sengketa   menggunakan   mediasi   perlu dikemukakan mengenai peran dan fungsi mediator sebagaimana yang dikemukakan oleh Raiffa yaitu sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan perannya, yakni :[9]
1)        Penyelenggara pertemuan;
2)        Pemimpin diskusi netral;
3)        Pemelihara   atau   penjaga   aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab;
4)        Pengendali emosi para pihak;
5)        Pendorong pihak/ perunding yang kurang     mampu     atau     segan mengemukakan pandangannya.
Sisi peran yang kuat oleh mediator bila dalam perundingan adalah mengerjakan/melakukan  hal-hal  diantaranya :
  1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundiangan;
  2. Merumuskan titik temu/kesepakatan para pihak; membantu para pihak agar menyadari, bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tapi diselesaikan;
  3. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah;
  4. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono, menyebutkan 7 (tujuh) fungsi mediator, yakni :
  1. Sebagai katalisator (catalyst) mengandung pengertian  bahwa  kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
  2. Sebagai  pendidik  (educator)  berarti seorang   mediator   harus   berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika  perbedaan  diantara  para pihak.
  3. Sebagai penerjemah (translator), berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai narasumber (resource person), berarti   seorang   mediator   harus mendayagunakan     sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti seorang mediator harus menyadari, bahwa para pihak dalam   proses   perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak untuk menampung berbagai usulan.
  6. f.      Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti   mediator   harus   berusaha memberi  pengertian  secara  terang kepada   salah  satu   pihak  bahwa sasarannya  tidak  mungkin/  tidak masuk akal untuk dicapai melalui perundingan.
  7. Sebagai  kambing  hitam  (scapegoat), berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Lebih  lanjut,  mekanisme  mediasi sebenarnya tergantung pada situasi sosial dan budaya masyarakat dimana para pihak berada.    Secara    garis    besar    dapat dikemukakan   tahapan-tahapan   mediasi sebagai berikut :
  1. Tahap pembentukan forum.
Pada awal mediasi, sebelum rapat antara  mediator  dan  para  pihak, mediator menciptakan atau membentuk  forum.  Setelah  forum terbentuk, diadakan rapat bersama.
Mediator memberi tahu kepada para pihak mengenai bentuk dari proses, menjelaskan  aturan  dasar,  bekerja berdasar   hubungan   perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila  para pihak sepakat melanjutkan peruundingan, para pihak diminta komitmen untuk mentaati aturan yang berlaku.
  1. Tahap kedua: pengumpulan dan pembagian informasi.
Setelah tahap awal selesai, maka mediator meneruskannya dengan mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan atau penjelasan pendahuluan pada masing-masing pihak yang bersengketa. Pada tahap informasi, para pihak dan mediator dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilakan masing-masing pihak menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa tersebut.
Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau melakukan interupsi apapun. Mediator memberi setiap pihak dengar pendapat mengenai versinya atas sengketa tersebut.
Mediator harus melakukan kualifikasi fakta yang telah disampaikan, karena fakta yang disampaikan para pihak merupakan   kepentingan-kepentingan yang dipertahankan  oleh  masing-masing   pihak   agar   pihak   lain menyetujuinya.  Para  pihak  dalam menyampaikan fakta memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak, untuk mengukuhkan bahwa mediator telah mengerti para pihak, mediator   secara   netral   membuat kesimpulan atas penyajian masing- masing pihak, mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan mengenai sengketa.
  1. Tahap ketiga, merupakan tahap penyelesaian masalah.
Selama tahap tawar-menawar atau perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-sama dan terkadang terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak merumuskan permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator mengadakan “caucus” dengan masing-masing dalam mediasi. Suatucaucus  merupakan pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi atau pertemuan sendiri antara para pihak pada satu sisi dengan mediator.[10] Mediator menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan pribadi dengan para pihak secara terpisah, dalam hal ini mediator dapat melakukan tanya jawab secara mendalam  dan  akan  memperoleh informasi  yang  tidak  diungkapkan pada suatu kegiatan mediasi bersama.
Mediator juga dapat membantu suatu pihak untuk menentukan alternatif-alternatif   untuk   menyelesaikannya, mengeksplorasi serta mengevaluasi pilihan-pilihan, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian secara lebih terbuka. Apabila   mediator akan mengadakan caucus, harus menjelaskan penyelenggaraan caucus ini kepada para   pihak,   menyusun   perilaku mediator sehubungan dengancaucus yang  mencakup  kerahasiaan  yaitu mediator tidak akan mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali sudah diberi wewenang untuk itu. Hal ini untuk menjaga netralitas dari mediator dan akan memperlakukan yang sama pada para pihak.
  1. Tahap pengambilan keputusan.
Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa yang akan mereka setujui atau sepakati. Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam perundingan.
Syarat menjadi Mediator sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai berikut :
  1. cakap melakukan tindakan hukum;
  2. berumur paling rendah paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
  3. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya;
  4. tidak ada keberatan dari masyarakat dan
  5. memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
c.         Negosiasi
Negosiasi secara umum dapat diartikan sebagai satu upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa melalui proses peradilan. Dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Dengan demikian negosiasi adalah proses tawar menawar yang bersifat konsensus yang di dalamnya para pihak berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang hal-hal yang disengketakan atau yang berpotensi menimbulkan sengketa. Para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Meskipun sederhana, negosiasi adalah suatu keterampilan yang bersifat mendasar yang dibutuhkan oleh para negosiator. Negosiasi baik yang bersifat tranksional (transactional negotiation) maupun dalam konteks penyelesaian sengketa (dispute negotiation), tidak hanya sekedar sebuah proses yang bersifat intuitive, melainkan proses yang harus dipelajari, perlu pengetahuan, strategi dan keterampilan tertentu. Menurut Suparto Wijoyo, bahwa negosiasi ini bersifat informal, tidak terstruktur, dan waktunya tidak terbatas.
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan negosiasi bisa saja unsur-unsur hukum tidak dipersoalkan, asalkan proses negosiasi tersebut mampu diselesaikan dengan baik dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Sukses atau tidaknya sebuah negosiasi tergantung oleh tujuan kedua pihak yang bersengketa, yang tentunya negosiasi tersebut akan mengalami kendala apabila salah satu pihak tidak memahami pentingnya negosiasi sehingga hanya menonjolkan hak-hak masing masing pihak. Selain berhadapan secara langsung antara kedua belah pihak, pada suatu keadaan tertentu masih tetap diperlukan perlunya orang ketiga yang memahami negosiasi sehingga hasil negosiasi justru tidak merugikan/menguntungkan salah satu pihak. Dalam proses bernegosisasi setidaknya ada 3 (tiga) aspek dalam proses negosiasi, untuk tercapainya sebuah negosiasi yang dilakukan oleh negosiator adalah sebagai berikut :
(1)     Culture
Budaya antar bangsa yang berlainan , perbedaan budaya tersebut mencakup pula pada kebiasaan,  pada masyarakat barat hukum diartikan ( right),  dan di masyarakat timur, seperti Cina yang mempunyai akar Confucius ,  hukum di anggap insturumen untuk menjaga ketertiban
(2)    Legal
Setiap negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan sengketa yang coba  untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan yang merupakan Public Policy, selanjutnya negosiator harus memahami instrument hukum   yang dapat di gunakan sebagai tanda tercapainya penyelesaian sengketa nantinya, umpamanya perlu nantinya di perkuat keputusan hakim
(3)    Practical
Pada aspek ini mutlak perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak dicapai dalam perundingan  untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Hal terpenting lainnya sehingga penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat terlaksana dengan baik adalah tidak adanya pengingkaran dari salah satu pihak terhadap hasil negosiasi. Pengingkaran baik seluruh atau sebagian kesepakatan akan mengakibatkan kegagalan negosiasi yang dapat berakhir dengan terjadinya konflik.
Supaya  negosiasi  dapat  berhasil dengan baik dan memuaskan para pihak, maka seorang negosiator harus menggunakan strategi dan taktik. Strategi-strategi negosiasi merupakan cara dasar dalam mengendalikan hubungan kekuatan, pertukaran informasi, dan interaksi diantar para pihak pelaku negosiasi.
Menurut Garry Goodpaster, dikatakan meskipun mekanisme negosiasi sangat kompleks dan beragam, namun secara esensial ada tiga strategi dasar negosiasi yaitu :
  1. Bersaing (competiting);
Negosiasi dengan cara bersaing atau kompetitif, disebut juga  “hard bargaining” (tawar-menawar bersikeras), distributif, posisional, “zero-sum bargaining” (menang tawar-menawar sebesar kekalahan pihak lawan) atau “win-lose bargaining” (tawar-menawar menang kalah).  Negosiasi bersaing mempunyai maksud memaksimalisasi keuntungan   yang   didapat   pelaku tawar-menawar  kompetitif  terhadap pihak  lain,  yaitu  untuk  mencari kemenangan, berupaya mendapatkan harga termurah, laba yang besar, biaya rendah,   persyaratan   yang   lebih menguntungkan dibandingkan dengan pihak lain.
  1. Kompromi (compromising);
Strategi negosiasi kompromi disebut juga “soft bargaining” (negosiasi lunak), “win-some-lose-some” (mendapat dengan member) atau “take and give bargaining”. Hal ini berarti bahwa salah satu pihak harus memberi ganti atas beberapa yang   diinginkan   agar   mendapat sesuatu. Pada prinsipnya satu pihak harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan kesepakatan, negosiator tidak   mendapatkan   semua   yang diinginkannya, tetapi hanya sebagian.
  1. Kolaborasi pemecahan masalah (problem solving).
Negosiasi  berkolaborasi  pemecahan masalah (problem solving) disebut juga negosiasi integratif atau kepentingan (positive-sum atau win-win). Strategi ini para pihak bertujuan memenuhi kepentingan sendiri, juga kepentingan pihak  mitra untuk memaksimalkan keuntungan, para pihak harus berkolaborasi guna menyelesaikan masalah dari penemuan tindakann bersama yang dapat mereka lakukan guna memenuhi kepentingan masing-masing
Terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, yaitu :
(1) kekuatan tawar-menawar; (2) pola tawar-menawar;   (3)   strategi   dalam   tawar-menawar.[11]Melakukan negosiasi untuk menyelesaikan  sengketa  harus  melalui tahapan-tahapan  sebagaimana  pendapat Howard Raiffa (seperti dikutip oleh Suyud Margono) sebagai berikut : [12]
1)       Tahap persiapan
Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang harus dipersiapkan adalah apa  yang dibutuhkan/diinginkan. Dengan kata    lain, negosiator   harus   mengenali   dulu kepentingan sendiri sebelum mengenali kepentingan   pihak   lain,   misalnya seberapa terbukanya informasi yang harus diberikan, dimana perundingan akan dilaksanakan, apa sasaran yang diinginkan.  Tahap    ini    sering diistilahkan  dengan  know  yourself.
Dalam tahap persiapan ini, juga perlu menelusuri berbagai alternatif lainnya, apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (Best Alternative To A Negotiated Agreement). Dalam tahap ini perlu juga menentukan  hal-hal  yang  bersifat logistik,  seperti  siapa yang  harus bertindak sebagai perunding, perlukah menyewa perunding yang mempunyai ketrampilan khusus, apabila perundingan bersifat internasional bahasa apakah yang akan digunakan serta siapa yang bertanggungjawab menyediakan penerjemah. Selanjutnya  dilakukan   simulasi   (simulated   role playing), hal ini sangat bermanfaat dalam mempersiapkan strategi bernegosiasi.
2)       Tahap tawaran awal (opening gambit)
Dalam tahap ini seorang perunding melakukan strategi tentang siapa yang harus lebih dahulu menyampaikan tawaran, bagaimana menyikapi tawaran awal tersebut. Apabila ada dua tawaran dalam perundingan, biasanya midpoint (titik diantara dua tawaran) merupakan solusi atau kesepakatan, sebelum   midpoint   dijadikan   kesepakatan   hendaknya   dibandingkan dengan level aspiration para pihak.
3)       Tahap pemberian konsesi (the negotiated dance)
Konsesi  yang  harus  dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang diberikan oleh pihak lawan.   Seorang   perunding   harus melakukan   kalkulasi   yang   tepat tentang agresifitas, seperti bagaimana menjaga hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap pihak lawan, dan fairness. Negosiator mempunyai peranan penting dalam konsesi dan menjaga posisi tawar sampai pada tingkat yang diinginkan.
4)       Tahap akhir permainan (end play)
Tahap akhir permainan ini meliputi pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.
Lebih lanjut Howard Raiffa menyatakan, agar suatu negosiasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan  yang  bersifat  stabil,  ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, di antaranya sebagai berikut:
  1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran (willingness);
  2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);
  3. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);
  4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining power);
  5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah
d. Konsiliasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara negosiasi. Konsiliasi juga dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam konsiliasi bisa berubah fungsi menjadi konsiliator, dan jika tercapai kesepakatan, maka konsiliator berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang bersengketa.


  1. e.      Pencarian fakta (fact finder)
Pencarian fakta sangat diperlukan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Fakta-fakta sangat dibutuhkan dalam proses negosiasi ataupun mediasi. Pencarian fakta ini dilakukan oleh pihak yang netral yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan keterangan untuk dapat dilakukan evaluasi dengan tujuan memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa. Adapun yang bisa dilakukan oleh tim pencari fakta tesebut adalah :
(1)    Pemeriksaan kebenaran pengaduan.
(2)    Meneliti sumber pencemaran lingkungan hidup
(3)    Meneliti tingkat pencemaran suatu lingkungan hidup.
(4)    Meneliti siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perusakan lingkungan hidup.
Hasil dari tim pencari fakta tersebut akan sangat berguna untuk menentukan keputusan terhadap perselisihan sengketa lingkungan hidup
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dengan demikian salah satu yang ditempuh yaitu melalui Lembaga Penyedia Jasa. Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 54 Tahun 2000. Memang PP Nomer 54 tahun 2000 ini kelahirannya merupakan amanat dari Undang-undang Nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetapi dalam UUPPLH 2009 menyatakan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UUPLH 2009.[13]
Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertangung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan.
Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Apabila cara ini tidak berhasil menyelesaikan masalah maka para pihak dapat menggunakan mekanisme arbitrase atau menggunakan mediator. Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Sedangkan penyelesaian dengan menggunakan Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya dilakukan sebagai berikut.
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator, atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa. Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya. Kesepakatan tersebut memuat antara lain:
  1. masalah yang dipersengketakan;
  2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
  3. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
  4. tempat para pihak melaksanakan perundingan;
  5. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
  6. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
  7. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya;
  8. larangan pengungkapan dan/atau pemyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;
  9. kehadiran Pengamat, ahli dan/atau nara sumber;
  10. larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat;
  11. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan.
Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan:
  1. Mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan; dan/atau
  2. Mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi
Apabila terjadi hal yang demikian itu maka :
  1. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau
  2. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya.
Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai yang memuat antara lain:
  1. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
  2. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
  3. uraian singkat sengketa;
  4. pendirian para pihak;
  5. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya;
  6. isi kesepakatan;
  7. balas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
  8. tempat pelaksanaan isi kesepakatan;
  9. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
Isi kesepakatan tersebut dapat berupa antara lain:
  1. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
  2. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.

[1] TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Surabaya: Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation, h. 9
[2] Pasal 85 ayat (2) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi : “(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
[3] Sebagaimana diketahui Pasal 1365 BW ada persamaan dengan Pasal 1401 BW Belanda (lama) atau artikel 6.3.1.1. NBN), dan untuk mendapatkan ganti kerugiari berdasarkan pasal tersebut, menurut Lamber‘s harus dipenuhi persyaratan berikut: (a) Perbuatan harus bersifat melawan hukum; (b) Pelaku harus bersalah; (c) Ada kerugian; (d) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian, lihat Siti Sundari Rangkuti, hukum Lingkungan…, op. Cit., h. 246
[4] Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang mengendalikan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
[5] Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan: Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum, Pidato Pengukuhan, Airlangga University Press, Surabaya, 1991, h. 16
[6] Lihat Mas Achmad Santosa et al., Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta, 1997, h. 59
[7] Hyronimus Rhiti, S.H.,LLM, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2006.hlm .123
[8] Sodikin,SH,M.Hum, Penegakan hukum lingkungan tinjauan atas UU No. 23 tahun 1997,Jakarta:Djambatan, 2003
[9] Howard Raiffa, The Art and Science of Negotiation, Cambridge, Massachusetts : Harvard University Press, 1982, dalam Suyud Margono, hal. 55
[10] Garry Goodpaster, Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 246
[11] Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 21-24
[12] Howard Raiffa, The Art and Science of Negotiation, Cambridge, Massachusetts : Harvard University Press, 1982, dalam Suyud Margono op.cit., Hal. 48-50
[13] Pasal  124 Undang-undang Nomer 32 tahun 2009 yang berbunyi : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.
»»  Baca Selanjutnya...