copy dari blog http://pakmanihuruksh.wordpress.com/2012/07/16/phk/
Apabila kita mendengar istilah
PHK, yang biasa
terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan
pekerja. Karenanya, selama ini singkatan ini memiliki konotasi negatif.
Padahal, kalau kita tilik definisi PHK yang diambil dari
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,
dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak
persis sama dengan pengertian dipecat. Tergantung alasannya, PHK mungkin
membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
(LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu,
dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada
instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK
tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja tidak mengetahui hak
mereka.
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja
dan pengusaha.
• Pekerja kontrak dan tetap
Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak
(terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu – PKWT) dan pekerja tetap
(terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu – PKWTT).
Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar
sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal
wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut.
Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat,
kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak
mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.
• Alasan/sebab PHK
Terdapat bermacam-masam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan
diri, tidak lulus masa percobaan hingga perusahaan pailit. Selain itu:
• ¬Selesainya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
• ¬Pekerja melakukan kesalahan berat
• ¬Pekerja melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan
• ¬Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
• ¬Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya
• ¬Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
• PHK mMassal – karena perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi.
• ¬Peleburan, penggabungan, perubahan status
• ¬Perusahaan pailit
• ¬Pekerja meninggal dunia
• ¬Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
• ¬Pekerja sakit berkepanjangan
• ¬Pekerja memasuki usia pensiun
• PHK Sukarela
Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara
tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan
pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan
pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi
syarat:
(i) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya,
(ii) tidak ada ikatan dinas,
(iii) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang pengusaha memaksa pekerjanya untuk
mengundurkan diri. Namun dalam praktik, pengunduran diri kadang diminta
oleh pihak pengusaha. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak
sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi pekerja maupun
pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap terjaga. Disisi lain
pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila
pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha
dan pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Pekerja yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi
seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan
perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih
bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang
pendapat antara pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja yang
mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan
masa kerja.
• PHK Tidak Sukarela
a. PHK oleh Pengusaha
Seseorang dapat dipecat
(PHK tidak sukarela) karena
bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan
pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua
kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat
kesalahan.
Pengusaha dimungkinkan mem-PHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada
pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama
6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pengusaha dapat
memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran
dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha
dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau
terhadap perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal
tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP),
atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut,
disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK.
Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena
alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi,
penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK
terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure).
Undang-Undang tegas melarang pengusaha melakukan PHK dengan alasan:
a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus;
b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja menikah;
e. pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali
telah diatur dalam PK, PP, atau PKB;
g. pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau
pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PK, PP, atau PKB;
h. pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status
perkawinan;
j. pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
• Kesalahan Berat (eks Pasal 158)
Semenjak Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan
inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK
apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas
praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja
terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas
putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha
memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.
Yang termasuk kesalahan berat ialah:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan
dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan;
g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
b. Permohonan PHK oleh Pekerja
Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke
LPPHI
bila pengusaha melakukan perbuatan seperti (i) menganiaya, menghina
secara kasar atau mengancam pekerja; (ii) membujuk dan/atau menyuruh
pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; (iii) tidak membayar upah tepat pada waktu yang
telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih; (iv) tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; (v)
memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; (vi) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
c. PHK oleh Hakim
PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang
hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka
hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan.
d. PHK karena Peraturan Perundang-undangan
Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force
majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu
dlama praktek force majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk
mem-PHK pekerjanya.
• Mekanisme PHK
Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya
untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha
pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah
memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK
harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan
Industrial (LPPHI).
Hal-hal tersebut adalah :
a. pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja meninggal dunia.
e. Pekerja ditahan
f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK
Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus
tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan,
pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak
pekerja.
• Perselisihan PHK
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial
bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan
antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
Penyelesaian Perselisihan PHK
Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha
dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat
mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah
awal dalam penyelesaian perselisihan.
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para
Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai
kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka
tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI
wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya
menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan
slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin
harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan
Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:
a. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas
tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan
para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta
kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan
oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan
mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para
pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak,
agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai
kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak
mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah
bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke
Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme
arbitrase kurang populer.
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk
pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga
akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain
mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk
perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi
terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
mengadili jenis perselisihan lainnya: (i)Perselisihan yang timbul akibat
adanya perselisihan hak, (ii) perselisihan kepentingan dan (iii)
perselisihan antar serikat pekerja.
4. Kasasi (Mahkamah Agung)
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung
mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke
Mahkamah Agung, untuk diputus.
•
Kompensasi PHK
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK)
dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan
UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
• masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;
• masa kerja 1 – 2 tahun, 2 (dua) bulan upah;
• masa kerja 2 – 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
• masa kerja 3 – 4 tahun 4 (empat) bulan upah;
• masa kerja 4 – 5 tahun 5 (lima) bulan upah;
• masa kerja 5 – 6 tahun 6 (enam) bulan upah;
• masa kerja 6 – 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah;
• masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja
UPMK
• masa kerja 3 – 6 tahun 2 (dua) bulan upah;
• masa kerja 6 – 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;
• masa kerja 9 – 12 tahun 4 (empat) bulan upah;
• masa kerja 12 – 15 tahun 5 (lima) bulan upah;
• masa kerja 15 – 18 tahun 6 (enam) bulan upah;
• masa kerja 18 – 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;
• masa kerja 21 – 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;
• masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (
UPH) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
• Alasan PHK dan Hak Atas Pesangon
Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya. Besaran
Pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon
tergantung alasan PHK sebagai berikut:
- Mengundurkan diri (kemauan sendiri) ¬- Berhak atas UPH
- ¬Tidak lulus masa percobaan ¬ – Tidak berhak kompensasi
- Selesainya PKWT ¬ – Tidak Berhak atas Kompensasi
- Pekerja melakukan kesalahan berat ¬- Berhak atas UPH
- Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja
Bersama, atau Peraturan Perusahaan -¬ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha ¬- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya -¬ Tergantung kesepakatan
- Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) ¬- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure- ¬ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. – 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja- ¬ 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau
melanjutkan hubungan kerja ¬- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Perusahaan pailit¬ ¬- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Pekerja meninggal dunia-¬ ¬ 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
- Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut ¬- UPH dan Uang pisah
- Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan) ¬- 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
- Pekerja memasuki usia pensiun ¬- Sesuai Pasal 167 UU 13/2003
- Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan) -¬ 1 kali UPMK dan UPH
- Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah ¬- 1 kali UPMK dan UPH
Contoh :
A yang tinggal di jakarta telah bekerja selama sepuluh tahun di PT B
yang juga berdomisili di Jakarta, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia
kemudian di PHK perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap
perjanjian kerja.
Maka, ia berhak atas kompensasi sebesar:
UP = Rp3.000.000,- x 1×9 = 27.000.000, (3 juta Dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah)
UPMK= Rp3.000.000 x1x 4= 12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun
UPH = 15% (uang penggantian perumahan dan pengobatan) x (27 juta +12 juta) =Rp5.850.000,-
Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH
27.000.000 + 12.000.000 + 5.850.000 = 44.850.000,-
sumber : http://pakmanihuruksh.wordpress.com/2012/07/16/phk/