Social Icons

Wednesday, October 17, 2012

Teori Filsafat



Teori filsafat. Tahukah Anda apa itu teori filsafat? Asal mula filsafat berasal dari timbulnya pertanyaan yang menyangkut hakikat atau sesuatu yang esensial.
Diawali dari pertanyaan, yang kemudian menimbulkan pertanyaan lagi, dan seterusnya, sehingga menimbulkan sebuah proses eksplorasi yang dipicu dari pertanyaan-pertanyaan lebih mendalam. Pertanyaan tersebut, di kalangan orang Yunani, meliputi masalah eksistensi diri sebagai bagian dari proses pengenalan diri. 
Dari sini teori filsafat (theory of philosophy) disusun dan senantiasa disempurnakan secara sistematis. Socrates (470 SM – 399 SM) misalnya, guru yang juga merupakan tokoh utama dalam karya pemikiran Plato, mengawali penerapannya dengan menelanjangi ketidaktahuan orang Athena, Yunani perihal diri sendiri.  
Socrates menyatakan diri menjadi medium setiap individu dalam upaya menemukan diri yang terpendam. Bahkan, untuk menempatkan fungsinya sebagai medium yang menstimulasi orang lain dengan serangkaian pertanyaan, Socrates menganalogikan dirinya seperti bidan, sebagaimana profesi ibunya. 
Dari keberadaan Socrates dan selanjutnya diikuti Plato (427 SM – 347 SM) dan Aristoteles (384 SM – 322 SM), teori filsafat dengan demikian, merupakan proses kelahiran pengetahuan atau kebenaran, terutama yang diawali dari pengenalan hakikat diri sendiri yang pada masa tersebut membutuhkan medium orang lain. 
Socrates yang menjadi medium kemudian diberi predikat sebagai orang yang bijak atau yang mencintai kebijakan. Dari hal itulah kemudian timbul istilah philosophia, berasal dari philos (cinta) atau philia (kesukaan atau ketertarikan pada) dan sophos (orang bijak) atau sophia (kebijakan).
Selanjutnya, filosof dipahami sebagai orang yang tertarik atau menyukai kebijakan. Tujuan hidup filosof adalah untuk mendapatkan pemahaman tentang diri dan dunia yang diperoleh secara rasional.
Karena, sepanjang menghayati kehidupannya di dunia, manusia dilahirkan dari orangtuanya, dan seterusnya dari nenek moyang serta leluhurnya diciptakan, tentu memiliki fungsi tertentu. Oleh karena itu, sebagian dari sisa hidupnya dimanfaatkan untuk mencari, menyusun, dan merumuskan pemikiran yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup sesama di dunia. 
Proses mencari, menyusun, dan merumuskan pemikiran yang dipusatkan dari prinsip essential question (pertanyaan esensial) bisa dibatasi hanya pada bidang tertentu atau spesifik, seperti ilmu pengetahuan, agama, atau teori filsafat.
Tidak menutup kemungkinan pula bila seseorang bisa menggapai ketiga bidang tersebut, di samping sebagai ilmuwan atau cendekiawan, juga rohaniwan atau agamawan, dan filosof atau filsuf. 

Teori Filsafat – Makhluk Paradoksal

Teori filsafat mengalami perkembangan seiring zamannya. Menurut Alfathri Adlin, pola pertanyaan sebagai prinsip eksplorasi dalam berfilsafat pada era Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1991) masih berupa pertanyaan yang sudah pernah atau selalu dipertanyakan lagi.
Dalam hal ini, filsafat senantiasa dalam proses menjadi (becoming). Sifat dasar filsafat Barat, yaitu self canceling atau pembatalan pernyataan terdahulu yang pernah dibuat sendiri. 
Pada akhirnya, filosof membuat hidup mereka menjadi nomadik. Selain itu, terjadi dialektika dalam proses berpikir. Implikasinya terlihat pada hasil berpikir filosof pasca-Renaisans yang mengkritisi hasil pemikiran di era sebelumnya, dari yang bersifat keluarga menjadi lebih bersifat sosial.
Psikoanalisis Freud dikritisi oleh Deleuze dan Guattari dengan menempatkan fenomena ketaksadaran yang dihasilkan secara sosial dari pengalaman publik-kolektif, bukan individual sebagaimana dirumuskan oleh Freud. 
Meski mengkritik, Guattari mengakui signifikansi psikoanalisis sebagai strategi untuk membebaskan subjek dari cengkeraman hasrat. Caranya, dengan merangsang subjektivasi transformatif.
Praktiknya diterapkan melalui eksperimen terhadap pasien sakit jiwa yang selalu dipindah-pindahkan ke lingkungan baru yang berbeda. Dengan eksperimen itu diharapkan pasien sakit jiwa senantiasa dapat beradaptasi. 
Rasio atau nalar merupakan asas kerja filosof yang menghasilkan produk berupa logos (pengetahuan). Produk pemikiran manusia yang berupa logika kemudian menjadi kiblat dari peradaban modern. Secara massif, peradaban modern itu diwujudkan dalam bentuk industrialisasi kapital.
Pada perkembangannya manusia mengalami alienasi (keterasingan). Situasi tersebut menempatkan manusia pada keadaan paradoksal. Maka, terjadi lagi kegelisahan yang merangsang atau mengusik otak manusia berpikir untuk berjuang atau melawan.
Yang terjadi kemudian adalah berkembangnya proses berfilsafat di era modernisme. Salah seorang filosof, Rene Descartes (1596 – 1650) yang berpijak pada asas kesadaran melalui metode kesangsian sebagai revisi konsepsi dualisme manusia ala Plato, yaitu jiwa dan tubuh. 
Pertanyaan yang dilontarkan Descartes dengan pijakan kesadaran dan menjadi legenda dalam konstelasi teorinya adalah cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Sebaliknya, Sigmund Freud justru mengelaborasi ketaksadaran (arus bawah sadar) manusia sebagai pijakan filsafatnya.

Teori Filsafat – Manfaat Filsafat

Salah satu yang mendasari Socrates berfilsafat adalah tatkala pikirannya menimbang bahwa penciptaan manusia di dunia tentu memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Karena itu, hidup manusia harus dipikirkan sehingga mereka layak menjalani kehidupannya.
Manfaat filsafat demikian, sebatas pada keberhasilan masing-masing individu dalam memahami eksistensi dirinya dalam kehidupan di dunia. Artinya, kemanfaatan filsafat tidak semata-mata memenuhi unsur kepraktisan.
Namun, dari pencarian pada kebenaran dan kontemplasi pada realitas dunia sebagai proses, berfilsafat merupakan sumber mencapai kebahagiaan. Ini adalah manfaat tidak secara langsung dari berfilsafat.
Implikasi atau pengaruh dari teori filsafat berjalan secara tidak langsung. Dalam dunia pengetahuan, filsafat turut menyumbang pengembangan teori dan metodologi, terdiri dari logika, etika, dan estetika. Pada logika, tumbuh cabang ilmu mengenai asas-asas pengetahuan atau epistemologi.
Sedangkan pada etika, berkembang ilmu tentang moralitas, tata pemerintahan, ekonomi, sosial, ataupun politik. Selanjutnya, pada estetika, timbul ilmu pengetahuan mengenai penciptaan dan apresiasi seni serta budaya.
Kemudian, dalam bidang politik praktis, setidak-tidaknya dari hasil pemikiran kritis sang filosof sedikit banyak akan memengaruhi kebijakan pemimpin dalam mengelola negara atau pemerintahan. Bahkan, sifat kemanfaatannya mencakup hal fundamental bernegara, seperti merumuskan ideologi, menyusun hukum negara serta perundang-undangan ataupun etika politik serta khususnya perkembangan teori filsafat.

Teori Filsafat – Dari Modernisme sampai Posmodernisme

Pemetaan mengenai pemikiran atau filsafat tidak cukup dilakukan hanya dengan mendeskripsikan pikiran beberapa filosof, namun harus dicermati pula pola hubungan antarfilosof, berikut konsepsi filsafatnya. Dari pola tersebut akan terlihat adanya hubungan antarkonsep yang menggambarkan proses dialog berikut konteks dirumuskannya konsepsi filsafat di masa sebelumnya untuk dibandingkan dengan masa sesudahnya. 
Dalam hal diupayakan pemetaan perkembangan atau kemunduran pemikiran filsafat itu akhirnya dapat diformulasikan ke dalam pembabakan atau periodisasi. Dengan demikian, filsafat memiliki rantai sejarahnya tatkala dikaji kembali di masa kemudian.
Perkembangan pemikiran filsafat merangkum dimensi masa lalu, masa kini, dan kemungkinan prospeknya untuk masa depan. Periodisasi pemikiran filsafat tentu saja diperlukan sebagai pengakuan adanya pelopor, tokoh, dan pemikiran atau aliran, serta filsafat yang berpengaruh pada zamannya.
Selain itu, sebagai pijakan penanda pencapaian dalam perkembangan pemikiran para filosof, serta kemungkinan untuk diantisipasi pada masa yang akan datang. Dalam pembabakan atau periodisasi pemikiran filsafat, selain dikenal periodisasi hitungan abad (seratus tahunan) dan milennium (seribu tahunan), ada pula dikenal periodisasi modernisme dan posmodernisme.
Periodisasi abad yang dipetakan dalam pemikiran atau teori filsafat sampai  1900 lazimnya disebut abad ke-20, sedangkan perhitungan sebagai zaman modern berhenti pada 1900. Baru kemudian pada 2000 hingga abad ke-21 disebut era filsafat kontemporer. 
Pada saat bersamaan, ada interval masa yang seiring dengan pembabakan tersebut namun dengan penamaan era posmodernisme, yakni pada 1970-an, khususnya yang berkaitan dengan pemikiran atau wacana.
Steinar Kvale (1992) mengilustrasikan perihal pemikiran posmodernisme yang dilatarbelakangi oleh hilangnya kepercayaan terhadap filsafat produk Renaisans (pemikiran abad Pencerahan). Terutama pada emansipasi dan kemajuan yang diukur oleh pengetahuan dan penelitian ilmiah. 
Fenomena tersebut menunjukkan terjadinya perubahan sikap dan pola berpikir dalam teori filsafat serenta pula melahirkan genre atau aliran filsafat baru. Meski jika dicermati secara konsepsional, posmodernisme mengkritisi modernisme, namun bukan berarti antimodernisme.
Prinsip yang membedakannya dengan modernisme sering dikatakan, bahwa posmodernisme merepresentasikan apa yang datang setelah modernisme. Posmodernisme juga bukan gerakan antiotoritarianisme atau antikapitalisme, seperti yang pernah muncul pada 1960 hingga 1970-an.
Posmodernisme tetap memanfaatkan produk modernisme atau era jauh sebelumnya yang disebut tradisionalisme, dengan mengkreasi kembali, meramu, memadukan, atau memungut anasir tradisional dan modern untuk direaktualisasikan dalam konteks baru. Demikianlah sekelumit tentang teori filsafat.

Teori Filsafat Timur dan Kehidupan Nyata

Teori filsafat sering diperdengarkan, dibaca, dan dipikirkan hanya oleh orang-orang dari golongan intelektual (mahasiswa, dosen, profesor). Namun, tidak semuanya. Hanya beberapa fakultas dan jurusan yang memiliki perhatian besar terhadap ruang filsafat.
Jika pun ada, perhatian tersebut sebatas dalam ruang kelas filsafat saja, sebatas angka untuk IPK. Di luar itu, filsafat tetap sekadar suatu hal yang “asing”. Ia bahkan hampir tidak tersentuh dalam kehidupan di luar ruang lingkup  intelektual. 
Kecenderungan tersebut tentu mesti diperhatikan, karena sesungguhnya perkembangan dunia manusia sendiri tidak dapat lepas dari keberadaan filsafat. Sebab, filsafat adalah proses berpikir dan manusia tidak dapat terhindar dari proses tersebut.
Salah satu contoh yang mudah ditemukan adalah saat manusia tenggelam dalam kebudayaan kolonialisasi. Kolonialisasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Rene Descartes, "Cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada), suatu tonggak lahirnya teori filsafat rasionalisme.
Teori filsafat ini bertitik tolak pada konsep pengagungan logika dan cenderung tidak mengindahkan intuisi (hati). Di satu sisi, teori filsafat ini berguna dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun,kecenderungan logika juga lantas dijadikan pembenaran untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari isi bumi, alam maupun makhluknya. Wabah kolonialisasi pun akhirnya merebak pada bangsa Eropa.  
Dengan demikian, jelas bahwa antara filsafat dan kehidupan nyata tidak mungkin dapat dipisahkan. Ia dapat diistilahkan sebagai “akar” bagi pohon perkembangan budaya manusia.
Memaknai kehidupan sama artinya dengan berfilsafat. Mengembangkan kehidupan pun sebaiknya tidak mengabaikan pengetahuan terhadap teori-teori filsafat.
Hal ini berlaku pula dalam perkembangan budaya timur, terutama Islam. Teori filsafat dalam kerangka mereka umumnya menjadi sosok Dajjal yang sebisa mungkin dijauhi. Hal ini tidak lepas dari pandangan bahwa filsafat dapat mengubah keimanan seseorang. 
Bagi kaum Muslim yang mayoritas menganggap bahwa kehidupan lebih hanya sekadar jembatan transendesi (ukhrowi/akhirat) akhirnya kerap kali mengabaikan aspek duniawi. Keberadaan mereka di dunia lantas kerap disandingkan dengan istilah inferior. Tentu persoalan ini mengakibatkan perkembangan budaya Islam cenderung tidak berkembang. 

Teori Filsafat Islam sebagai Tonggak Perkembangan Timur

Dalam perkembangan budaya Islam, sering kali filsafat dianggap sebagai suatu perihal yang “antagonis”. Hal ini disebabkan tumbuh suburnya pandangan bahwa filsafat merupakan ilmu yang cenderung menyesatkan dan memungkinkan lahirnya kekacauan aqidah/keyakinan.
Akibatnya, Islam pun lantas menjadi cenderung dogmatis. Ajaran-ajaran dan keyakinan menjadi satu hal yang tidak dapat dikritisi atau dipahami dengan cara yang berbeda. Konsep ini, secara tidak langsung berkaitan dengan kritikan-kritikan Al-Ghazali terhadap pemikir muslim Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd sendiri, dalam banyak pembahasan mengenai filsafat Islam, dapat dianggap sebagai simbol rasionalisme di dalam Islam. Rasionalisme Ibnu Rusyd lantas mendapat tentangan dari Al-Ghozali.
Kaum orientalis berpendapat, sikap Al-Ghozali ini, yang kerap mengkritik dan menentang para filsuf, terutama filsuf Muslim, pada akhirnya ternyata memadamkan semangat berfilsafat dalam kaum Muslim. Hal ini pun disinyalir sebagai salah satu titik padam atau hilangnya ruang filsafat di dalam Islam.
Alur pemikiran Islam selanjutnya bergerak ke arah Al-Ghozali, yang beranggapan bahwa filsafat memungkinkan lahirnya hal-hal yang membahayakan keagamaan. Dampak dari kecenderungan tersebut pun cukup besar bagi perkembangan umat Islam selanjutnya.
Dalam buku Filsafat Timur karya Bagus Takwim, dampak-dampak tersebut diuraikan dalam beberapa ruang. Pertama, terjadi gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang merata di kalangan Muslim.
Kedua, kaum Muslimin pada akhirnya meletakkan iman dan transendensi Islam sebatas kebenaran yang kaku dan tak tersentuh akal. Ketiga, yang dianggap lebih besar adalah timbulnya rasa rendah diri (inferior) peradaban dan pemikiran Islam, terutama dalam dimensi intelektual kepada kaum Barat.
Tetapi, apa yang dikemukakan kaum orientalis tersebut ternyata mendapat bantahan. Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Theology, Philosophy, and Spirituality mengungkapkan bahwa pemikiran-pemikiran filsafat dalam islam tidak pernah berhenti. Ia terus berlangsung meski Ibnu Rusyd telah lama meninggal dunia. 
Hanya saja, karya-karya para pemikir tersebut jarang mendapat dukungan publikasi dan pewartaan. Sayyed Hossein pun mengemukakan para filsuf Muslim yang mempertahankan keberadaan filsafat dalam Islam setelah Ibnu Rusyd, yang pemikiran-pemikirannya pantas untuk ditelaah dan dikaji lebih luas.
Beberapa dari mereka adalah Suhrawardi, Mula Sadra, dan pemikir Islam modern Muhammad Iqbal. Dari mereka ini, dapat diambil kesimpulan bahwa antara agama dan filsafat semestinya tidak terdapat tembok yang besar dan tak tertembus.
Agama dan filsafat adalah dua hal yang sesungguhnya berjalan beriringan.Teori filsafat yang erat kaitannya dengan logika atau intelektual dan agama yang banyak berkaitan dengan spirit adalah dua hal yang merupakan “kebutuhan” umat manusia.
Keduanya adalah dua muka realitas yang tidak dapat diabaikan salah satunya. Konsep tersebut, kemudian banyak berpengaruh dalam lahirnya teori filsafat dari pemikir Muslim, juga tema-tema yang diangkat.
Pembahasan yang paling mencolok adalah pembuktian keberadaan Tuhan dengan akal, seperti yang dilakukan oleh Al-Kindi dan Al-Farabi. Tema lainnya adalah mengenai penciptaan alam semesta. 
Selain itu, banyak juga teori filsafat yang muncul dari pemikiran mengenai kegiatan pemikiran (intelektualitas) dan kegiatan penyucian hati, dengan iman dan pengetahuan. Tema ini cukup mengemuka saat Suhrawardi mengangkatnya.
Pada periode Muhammad Iqbal, teori filsafat mengenai aspek sosial dan eksistensi manusia menjadi sumbangan yang sangat penting dalam kebudayaan Islam dan dunia secara keseluruhan. 

Teori Filsafat Islam di Indonesia

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk menganut agama Islam, Indonesia merupakan negara yang potensial dalam perkembangan filsafat, khususnya teori filsafat yang dikemukakan para pemikir Muslim. Sayangnya, potensi ini mesti lama menunggu karena kecenderungan budaya kaum Muslim Indonesia yang menjadikan agama, meminjam istilah Abdurahman Wahid, sebagai suatu benteng yang kerap tidak bisa diganggu gugat. 
Dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad bahkan menyebutkan bahwa penalaran kritis mengenai Islam sering hanya akan menempatkan pengkritisi dalam dimensi kemarahan umat, bukan sikap keterbukaan.
Hal ini menunjukkan bahwa apa yang diharapkan Abdurahman Wahid, pemikir Islam dan Presiden Indonesia keempat, agar umat muslim menjadikan agama dan iman sebagai obor (suatu metefora yang dapat dimaknai keterbukaan) sulit terjadi. Banyak bukti yang menunjukkan hal demikian.
Misalnya, merebaknya organisasi massa yang mengatasnamakan kebenaran, namun justru bertindak anarkis, seperti membubarkan diskusi buku yang disinyalir merusak keimanan pembaca, perkembangan budaya yang bersifat takhayul dan cenderung “mangada-ngada”, dan lain-lain. Bukti-bukti demikian menjelaskan bahwa teori filsafat Muhammad Iqbal yang mengedepankan keseimbangan intelektual dan intuisi, dunia dan akhirat, masih sulit berlaku.
Penyebabnya, seperti yang telah diungkapkan, adalah kecenderungan kaum Muslim untuk tidak bersikap terbuka. Selain itu, juga karena pandangan yang mengedepankan kehidupan akhirat.
Ketidakterbukaan menyebabkan pemahaman kebenaran yang sempit. Kebenaran hanya dipandang dari satu sisi sedangkan sisi yang lain adalah salah. Pandangan mementingkan akhirat menyebabkan pengabaian terhadap kemajuan umat Islam dalam kancah dunia.
Umat Muslim akhirnya akan selalu menjadi pemeran inferior. Tentu terdapat banyak jalan demi mengubah paradigma tersebut. Salah satunya adalah dengan meletakkan filsafat sebagai suatu hal yang tidak lagi asing.
Perlu diletakkan kesadaran bahwa filsafat merupakan “akar”, yang darinya akan bisa diketahui penyebab sebuah perkembangan manusia dan masa depan perkembangan manusia. Darinya pula diketahui bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan sesungguhnya memiliki sebuah garis besar yang sama, pengetahuan melahirkan keterbukaan dan manfaat kemanusiaan. 
Semestinya masalah ini digencarkan dalam ruang intelektual, sebab kaum intelektual akan selalu memiliki pengaruh dalam perkembangan budaya masyarakat seluruhnya. Teori filsafat pun tidak lagi menjadi "Dajjal", namun juga sebagai sebuah titik perkembangan ke arah yang lebih baik. Ia juga tidak menjadi sebatas nilai akademik yang dianggap tidak berguna dalam kehidupan nyata. 

No comments: