Mekanisme
Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.
Perkembangan
kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh
kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang berkembang cukup pesat.
Batas-batas Negara menjadi tidak penting lagi, hanya batas formalitas
teritorial yang ada, tetapi tidak mampu membendung pernyebaran ide-ide,
inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi sebuah kampung global. Menurut James
J (2003 : 174), globalisasi merupakan pengintegrasian internasional
individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi,
sosial, dan politik yang terjadi secara cepat dan mendalam, dalam takaran yang
belum dialami sejarah dunia sebelumnya.
Outsourcing
merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga sebagai anak kandung
yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sifat
dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaan-perusahaan
transnasional dan multi nasional, semakin kuat mengcengkram Negara-negara yang
sedang berkembang. Ekspansi dan eksploitasi yang besar-besaran dilakukan demi
akumulasi modal. Sebagai contoh perusahaan NIKE selama periode 1989-1994
membuka lokasi pabrik baru di Cina, Indonesia dan Thailand dimana upah sangat
rendah.
Ekspansi
besar-besaran perusahaan transnasional diiringi juga dengan model dan format
kerja yang mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di wilayah
pengembangan perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri globalisasi
dimana perusahaan transnasional melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli
berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi (Martin Khor, 2001 : 12). Karena itu
globalisasi adalah proses yang tidak adil dengan distribusi-distribusi
keuntungan maupun kerugian yang juga tidak seimbang.
Dari penjelasan
diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing di Indonesai sebagai
salah satu negara berkembang merupakan imbas dari hegemoni kapitalis.
Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an, model
kerja ini disahkan keberlakuannya melalui keputusan Menteri Perdagangan RI No.
264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan
Berikat.
Industri awal
yang bersentuhan dengan outsource adalah industri perminyakan. Bahan bakar yang
dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses panjang dan melalui berbagai
perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik konsesi lahan, eksplorasi hingga
produksi, transportasi, semuanya dilakukan oleh perusahaan yang berbeda (Komang
Priambada, 2008 : 21).
Dewasa ini hampir
seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang dimiliki oleh para
kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan industri melakukan
outsourcing yaitupertama, efisiensi kerja dimana perusahaan
produksi dapat melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan
outsourcing; kedua, resiko operasional perusahaan dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa
dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin; ketiga, sumber
daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih
fokus dalam meningkatkan produksi; keempat, mengurangi biaya
pengeluaran(capital expenditure) karena dana yang sebelumnya untuk
investasi dapat digunakan untuk biaya operasional; kelima perusahaan
dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah;keenam, mekanisme
kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan landasan hukum bagi
pelegalan sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa modal dan
sebaliknya merugikan kaum buruh. Berbagai aksi protes menentang sistem
outsourcing merupakan salah satu bentuk dari resistensi terhadap kepitalisme.
Dalam persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi
peningkatan kelayakan hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan
sosial dan lain sebagainya adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme
terhadap hak-hak buruh yang mencederai human rigth.
Untuk mempertegas
mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai hubungan buruh dan
kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :
Hubungan Buruh
Hubungan
industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan bahwa buruh
ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang
dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan sebagai model kerja yang
menambahkan unsur ’pelaksana perkerjaan’ diantara relasi buruh dan modal (Rita
Olivia, 2008 : 9). Kondisi tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin
kabur, dan memperlemah bergaining position buruh terhadap pemilik modal.
Dalam model kerja
outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup hubungan industrial. Awalnya
yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh, pengusaha
dan pemerintah (Susetiawan, 2000:173).
Dalam model outsourcing menjadi empat
lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan
oustsourcing), perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing
sebagai sebuah model perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam
perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja
mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara
cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak
buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh
pemilik modal.
Hubungan
industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai
kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana
mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam
outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya
kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis
dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat
pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan
digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara
cadangan.
Kondisi ini
membebaskan industri-industri pengguna dari kewajiban-kewajiban terhadap buruh
kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Menurut Komang Priambada (2008
: 31), pihak pengusaha berpendapat bahwa ”Dari mana pekerja itu
direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai
pemakai”. Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah
barang dagangan dan outsourcing tidak lain hanyalah triffiking yang dilegalkan.
Hubungan yang
terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna
(pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan
(dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Eggi Sudjana
(2001 : 27), menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok
pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang
terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan
berat sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan
yang menekankan pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering
dieksploitasi.
Hubungan
peruburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah disebutkan diatas
sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik perbruhan
merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan
kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat
disatu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah
gambaran hubungan buruh dalam sistem outsourcing.
Kedudukan
Buruh
Buruh dalam model
kerja outsourcing menjadi sosok barang yang diperjualbelikan dengan harga
murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung mengganti dengan barang
yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang murah. Buruh adalah
alat atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh sehingga
ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal
(capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan
nilai yang tinggi, kerena merakalah yang turut langsung menciptakan produk yang
akan dikonsumsi konsumen.
Kanyataannya
bahwa buruh selalu dikebiri disubordinatkan dan gerakan-gerakannya selalu
dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik modal. Inilah wajah
kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh. Outsourcing adalah model
kerja yang mencederai makna HAM dan Demokrasi. Celia Mather, (2008 : 28)
mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama, tersingkirnya
buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi; kedua,tidak adanya
tanggung jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya
buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam
ketidakpastian. Menurut Celia Mather (2008 : 37), perusahaan inti melalui
kontrator penyedia jasa memberikan upah yang jauh lebih rendah daripada buruh
tetap, mereka terhindar dari penyediaan tunjangan-tunjangan seperti pensiun,
asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar,
tunjangan melahirkan. Berikut dalam Tabel 1 Gambaran perbandingan hak buruh
tetap (Permanent), dan buruh kontrak (Outsorcing) :
Alienasi
Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Manusia
merupakan mahluk produktif yang mampu menggunakan seperangkat kemampuannya
untuk bekerja. Kerja
adalah sebuah proses dimana manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan
produktif. Manusia mempunyai kemampauan untuk mengatur, memulai, dan mengontrol
reakasi-reaksi material antara dirinya dan alam.
Marx dalam teori
alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi, dalam menganalisis buruh dan
perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal. Perkembangan kapitalisme dan
juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin menguatkan eksploitasi dan
ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural maupun fungsional
teralienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak perantara
penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh telah
melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini sesungguhnya
mirip ”jual beli manusia” (human trafficking) yang dilegalisasi oleh
negara.
Beberapa
indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu,
pertama;buruh
kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya
kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam
pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan
mereka bekerja untuk kapitalis (Ritzer, 2008 : 56)
Buruh dicetak dan
dibentuk seperti mesin yang bekerja untuk pemilik mesin. Buruh kehilangan
kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk produktif untuk mencukupi
kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak untuk menciptakan produk
sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka sendiri. Outsourcing
melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama terbentuk. Kondisi ini juga
didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan perusahaan inti terhadap buruh.
Senada dengan gambaran diatas dalam kongres ICEM menyatakan bahwa kami
memandang outsourcing sebagai bentuk dari perbudakan dan ketidakadilan bagi
kemanusiaan (Celia Mather, 2008 : 39).
Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja
mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka,
karena produk tersebut hak milik kapitalis. Asumsi ini masih dalam satu
rangkaian dengan tipe aleinasi yang pertama. Buruh diposisikan sebagai faktor
produksi yang memproduksi barang untuk kepentingan kapitali dan akan mereka
jual dipasar. Sebagai contoh buruh outsourcing di perusahan Nike, tidak dapat
serta merta dapat memiliki hasil dari kerjanya. Meraka bisa memiliknya ketika
mereka membeli produk itu dipasar tetapi harganya tidak bakanlan terjangkau
oleh mereka.
Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja.
Fenomena ini sebenarnya telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja
outsourcing ada varian lain, tidak seperti yang ditemukan pada kapitalisme
awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas borjuis dan proletar (buruh).
Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing mencapai pada puncaknya, mereka
menjadi aktor yang harus loyal karena perjanjian outsourcing telah mereka
sepakati. Persyarakatan yang memberatkan pihak buruh sehingga pelanggaran
terhadap perjanjian akan mengakibatkan pemecatan. Struktur yang dibangun
benar-benar menjadi kekautan yang menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga
berimplikasi mereka tidak tidak dapat berinteraksi dengan buruh-buruh yang
lain. Selain itu ada juga kecenderungan buruh outsourcing tidak dapat masuk
kedalamserikat-serikat buruh karena waktu kontrak yang terbatas, dan terjadi
hambatan untuk merekrut buruh kedalam serikat buruh yang akan memperjaungkan
hak-hak dasar mereka.
Keempat, buruh teralienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini
dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar
manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing,
regulasi-regulasi yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak
merdeka sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan
tenagadan usaha yang maksimum. Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan
buruh dalam keadaan yang sangat sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang
memadai, sehingga penindasan terhadap hak-hak buruh menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam sistem tersebut.
No comments:
Post a Comment