Social Icons

Monday, February 11, 2013

Mitos Perkawinan Laki-Laki Sunda Dengan Perempuan Jawa


copas dari blog http://mitos-cowosunda-cewejawa.blogspot.com
BISA DIAMBIL KESIMPULAN DARI APA YANG UDAH GW CARI DI GOOGLE:
KENAPA LAKI-LAKI SUNDA NGGA BOLEH KAWIN SAMA PEREMPUAN JAWA.
KARENA EH KARENA:
  1. PIHAK JAWA MERASA LEBIH TUA DARI PIHAK SUNDA PERNYATAAN INI DIAMBIL KARENA KERAJAAN JAWA LEBIH LAMA DARIPADA KERAJAAN SUNDA.
  2. PIHAK SUNDA MERASA HARGA DIRINYA DI LECEHKAN DAN DIHINA AKIBAT PERANG BUBAT YANG TERJADI.
BISA DILIHAT DISINI

tapi setelah dilihat diatas berarti masalah harga diri yang di jalanin.
tapi ngga tau degh takutnya ada semacam sumpah yang pernah disebutkan oleh sesorang yang mempunyai "ilmu yang tinggi"
"jika cowo sunda menikah dengan cewe jawa maka pernikahannya tidak langgeng"
yah yang pasti gw orang yang percaya gaib.
hal itu mungkin aja bisa terjadi.
semacam kutukan gitu hehehehe

tapi bisa diambil kesimpulan versi gw:
  • berkomitmen dalam rumah tangga
  • saling setia
  • saling menghargai
  • wanita memang di "bawah" pria
  • taat sama suami
  • suami menghormati istri
  • istri menghormati suami
  • saling sabar
  • jangan mau kalah sama mitos
  • saling pengertian
  • komunikasi
  • memahami sifat satu sama lain
  • jangan berbicara dengan nada tinggi
  • kalau marah boleh tapi dengan nada rendah
  • saling mendorong kearah yang lebih baik dengan perbuatan jika ada yang "jatuh"
  • jangan ada pihak ketiga walaupun itu teman curhat usahakan curhat dengan suami/istri walaupun sangat pahit terdengar
  • jangan sampai masalah terdengar oleh mertua atau orangtua
  • jujur
  • masalah materi harus dibicarakan dengan baik
  • ingat pengorbanan yang telah dilakukan di masa lalu
kunci langgeng rumah tangga

mitos perkawinan cowo sunda dengan cewe jawa

Kadangkala, kejadian-kejadian di masa lalu seringkali dijadikan sebuah pembenaran untuk memelihara sentiment-sentimen rasial, meskipun sulit ditemukan relevansinya saat ini. Salah satunya adalah Perang Bubat yang terjadi sekitar 7 abad yang lalu (tepatnya tahun 1279 M). Peristiwa yang membawa trauma yang mendalam bagi keluarga kerajaan Galuh, karena seluruh anggota keluarga kerajaan, mulai dari Prabu Linggabuana dan permaisuri Lara Linsing, serta putrinya yang cantik jelita (khas tanah Parahiyangan) Dyah Pitaloka Citraresmi, terbantai di Palagan Bubat. Peristiwa yang telah lama berlalu sebenarnya, tetapi melahirkan banyak mitos seputar hubungan Sunda dan Jawa, sampai saat ini.
Banyak pendapat yang sudah membantah bahwa peristiwa itu sudah tidak banyak memberikan dampak pada hubungan Jawa dan Sunda dewasa ini. Tetapi beberapa indikasi masih menunjukkan ketegangan hubungan ini, seperti misalnya tiadanya nama-nama yang berbau Jawa (Majapahit) yang digunakan sebagai nama jalan di tanah Parahiyangan/Pasundan (baru-baru ini ada informasi bahwa di Cimahi ada Jl. Gadjah Mada), atau adanya mitos yang melarang laki-laki/perempuan Sunda untuk menikah dengan orang Jawa. Dalam suatu seminar di Universitas Padjajaran belum lama ini, yang membahas novel Gajah Mada: Perang Bubat karangan Langit Kresna Hariadi, ketegangan yang sama kembali muncul. Ini membuktikan bahwa ketegangan itu masih belum dapat cair seutuhnya.
Jika saja mau melihat lebih jauh sejarah ke belakang, dan kemudian diteliti kembali untuk mencari persamaan-persamaan antara dua kebudayaan yang sebenarnya masih saudara tersebut, semestinya Palagan Bubat tidak menjadikan dua saudara bersitegang (untuk jangka waktu yang lama).
Sejarah dimulai ketika pendiri kerajaan Galuh, Sang Wretikandayun (612 M) memisahkan diri dari kerajaan Tarumanegara yang memang sudah lemah dibawah pemerintahan Prabu Tarusbawa (yang selanjutnya mengganti nama kerajaan Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan –Bogor sekarang). Sang Wretikandayun memiliki tiga orang putra, salah satu diantaranya adalah Amara alias Sang Mandiminyak. Sang Mandiminyak memiliki dua orang istri. Dari istri pertama (Pohaci Rababu) memiliki putra bernama Sena (Bratasenawa), sedang dari istri kedua (Dewi Parwati putri Kartikayesinga penguasa Kalingga – Jawa Tengah) memiliki putri bernama Sannaha. Oleh Ratu Sima (istri Kartikayesinga), Sena dan Sannaha, yang masih saudara kandung tersebut, dikawinkan. Dari perkawinan keduanya lahir Sanjaya yang kemudian terkenal sebagai pendiri wangsa Sanjaya yang berkuasa di tanah Jawa (taraju Jawadwipa), yang selanjutnya menjadi penguasa tunggal Bumi Mataram (Hindu). Sebelum menjadi penguasa Mataram, Sanjaya juga menjadi raja di kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda Galuh. Inilah hubungan kekerabatan (dekat) pertama antara tanah Pasundan dan Jawa.
Bagaimana dengan Majapahit ?
Penguasa Majapahit adalah wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok (Awuku Tumapel). Pendiri Wilwatikta adalah Rakian (Rakean=Rahadian=Raden) Wijaya. Ibunda Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal (Dyah Daramurti) dari Tumapel dari suami keluarga kerajaan Sunda, Rahiyang Jayadarma. Bahkan ketika Raden Wijaya menjadi Maharaja Majapahit yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana dengan kekuasaan yang besar, masih sering mengunjungi kakeknya, Prabu Guru Darmasiksa di Sunda Pakuan. Dalam kunjungan tersebut, Prabu Guru Darmasiksa pernah memberikan nasehat kepada Sanggramawijaya (gelar Raden Wijaya) : Hawya ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang dumadi sarataya.
Ikang sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda dukhantara, Wilwatikta sakopayanya maweh carana; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatikta.
(Jangan hendaknya engkau mengganggu, menyerang, dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluarbiasaan, dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar. Ini adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya.
Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu, bekerja sama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akanmencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan; demikian pula halnya kerajaan Sunda kepada Majapahit) (Danasasmita, 1983:23)
Terlihat bahwa sebenarnya antara kerajaan Sunda dan Jawa (baca: Majapahit) terjalin hubungan yang demikian erat, dari satu leluhur yang seharusnya tercipta hubungan yang harmonis dan saling kerjasama antara keduanya. Bukannya ketegangan dan permusuhan. Perkara perang Bubat adalah persoalan politik, yang memang tidak seharusnya masuk lebih jauh dalam ranah kebudayaan dan kemanusiaan secara umum. Semestinya Perang Bubat dapat dilihat seperti kita melihat peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di negeri ini, meskipun mungkin menyakitkan tetapi tidak seharusnya itu menghancurkan hubungan persaudaraan yang telah berlangsung berabad-abad. Kalau kita mau jujur melihat persamaan-persamaan yang ada pada dua kebudayaan tersebut, seperti linguistik, seni, budaya, dan hasil-hasil peradaban antara dua kebudayaan, mestinya hal tersebut dapat lebih saling mempererat hubungan antar-keduanya.from http://chintoenx.multiply.com/journal/item/3/Jawa_dan_Sunda_lagi

No comments: