Social Icons

Tuesday, February 5, 2013

HUKUM PERIKATAN

A. Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan terdiri dari dua kata
yaitu hukum, dan perikatan. kata
"Perikatan" (verbintenis) mempunyai arti
yang lebih luas dari kata "Perjanjian", sebab
dalam perikatan diatur juga perihal hubungan
hukum yang sama sekali tidak bersumber
pada suatu persetujuan atau perjanjian,
yaitu perihal perikatan yang timbul dari
perbuatan yang melanggar hukum
(onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan
yang timbul dari pengurusan kepentingan
orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).
Perikatan adalah suatu hubungan hukum
( mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang, yang memberi hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata,
pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan
pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu
hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas
dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban
(debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann
adalah suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau
beberapa orang daripadanya (debitur atau
pada debitur) mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas
sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk
melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan verbintenis dalam bahasa
Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara
dua pihak yang isinya adalah hak an
kewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah
dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian
tersebut menandakan bahwa pengertian
perikatan yang dimaksud adalah suatu
pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal
yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat
dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk
mengkonkretkan pengertian perikatan yang
abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian.
Oleh karena itu, hubungan antara perikatan
dan perjanjian adalah demikian, bahwa
perikatan itu dilahirkan dari suatu
perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem
yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
system terbuka adalah setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk
berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati
dalam perjanjian
B. Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP
perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang
dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal
ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata :"Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang
saja (uit de wet allen) atau dari undang-
undang sebagai akibat perbuatan orang" (uit
wet ten gevolge van's mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-
undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang
saja adalah perikatan yang letaknya di luar
Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104
KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak dan yang lain
dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai
hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban
pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber
perikatan yang telah dijelaskan di atas
terdapat pula sumber-sumber lain yaitu :
kesusilaan dan kepatutan (moral dan
fatsoen) menimbulkan perikatan wajar
(obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan
keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk
dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-
undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela ( zaakwarneming).
C. Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni
menganut azas kebebasan
berkontrak dan azas konsensualisme:
· a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam
Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya
dan berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
· b. Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu
lahir pada saat tercapainya kata sepakat
antara para pihak mengenai hal-hal yang
pokok dan tidak memerlukan sesuatu
formalitas. Dengan demikian, azas
konsensualisme lazim disimpulkan dalam
Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para
pihak yang mengikatkan diri, yakni para
pihak yang mengadakan perjanjian harus
saling setuju dan seia sekata dalam hal yang
pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2.Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap
menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia
21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis,
jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap
objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
D. Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu
pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa
berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur
yang melakukan wansprestasi , dapat
digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh
Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga
unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan
Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi
telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan
perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
perdata.
E. Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381
KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara
penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Inovasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan
pada saat yang bersamaan timbul perikatan
lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1). Inovasi obyektif, dimana perikatan yang
telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara
hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh
keadaan, dimana dua orang masing-masing
merupakan debitur satu dengan yang lainnya.
Kompensasi terjadi apabila dua orang saling
berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan
bahwa diantara kedua mereka itu telah
terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B
berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp.
600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk
terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata,
yaitu utang tersebut :
-Kedua-duanya berpokok sejumlah uang
atau.
- Berpokok sejumlah barang yang dapat
dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang
yang dapat dihabiskan ialah barang yang
dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan
dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang pembebasan utang. Secara
sederhana pembebasan utang adalah
perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur
melepaskan haknya untuk menagih piutangnya
dari debitur. Pembebasan utang tidak
mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja
diadakan secara lisan. Untuk terjadinya
pembebasan utang adalah mutlak, bahwa
pernyataan kreditur tentang pembebasan
tersebut ditujukan kepada debitur.
Pembebasan utag dapat terjadi dengan
persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh
dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Misalnya pengembalian surat piutang asli
secara sukarela oleh kreditur merupakan
bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan
menjadi hapus. Jika pembebasan utang
dilakukan oleh seorang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, atau karena ada
paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka
dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442
menentukan : (1) pembebasan utang yang
diberikan kepada debitur utama,
membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada
penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang
diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung
lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari
suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti
telah terjadi suatu "keadaan memaksa"at au
force majeur, sehingga undang-undang perlu
mengadakan pengaturan tentang akibat-
akibat dari perikatan tersebut. Menurut
Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk
perikatan sepihak dalam keadaan yang
demikian itu hapuslah perikatannya asal
barang itu musnah atau hilang diluar salahnya
debitur, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok
pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata
menyatakan bahwa dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak
perikatan dilakukan adalah atas tenggungan
kreditur. Kalau kreditur lalai akan
menyerahkannya maka semenjak kelalaian-
kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-
perikatan.
Sidang kebatalan ini dapat dibagi dalam
dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena
kebatalannya terjadi berdasarkan undang-
undang. Misalnya persetujuan dengan causa
tidak halal atau persetujuan jual beli atau
hibah antara suami istri adalh batal demi
hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh
hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B
dengan akta dibawah tangan, maka B tidak
menjadi pemilik, karena perbuatan hukum
tersebut adalah batal demi hukum. Dapat
dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah
ada putusan hakim yang membatalkan
perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan,
perbuatan hukum yang bersangkutan tetap
berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap
untuk membuat perikatan telah menjual dan
menyerahkan rumahnya kepada B dan
kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi
kedudukan B belumlah pasti karena wali dari
A atau A sendiri setelah cukup umur dapat
mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang
menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran
terhadap syarat yang menyangkut bentuk
perbuatan hukum, ketertiban umum atau
kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk
melindungi ketertiban masyarakat.
Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin
melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah
ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh
kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga
perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut
"syarat batal". Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan
itu dilahirkan. Perikatan yang batal
dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah
tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya
dengan syarat batal yang dimaksudkan
sebagai ketentuan isi perikatan, di sini
justru dipenuhinya syarat batal itu,
perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir
atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya
tidak sama dengan syarat batal yang
bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal,
perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak
berlaku surut, melainkan hanya terbatas
pada sejak dipenuhinya syarat itu.
Kadaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah suatu alat
untuk memperoleh susuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang. Dengan demikian menurut ketentuan
ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka
perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas
dapat diketehui ada dua macam
Lampau waktu, yaitu :
( 1). Lampau waktu untuk memperolah hak
milik atas suatu barang, disebut
" acquisitive prescription";
( 2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari
suatu perikatan atau dibebaskan
lari.
Tuntutan, disebut "extinctive
prescription"; Istilah "lampau waktu" adalah
terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda "verjaring". Ada juga terjemaha lain
yaitu "daluwarsa". Kedua istilah terjemahan
tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah
daluwarsa lebih singkat dan praktis.

Sumber : copas dari blog tetangga
Powered by Telkomsel BlackBerry®

No comments: