Social Icons

Sunday, February 9, 2014

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN DI LUAR PENGADILAN

SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DAN KERANGKA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Sengketa lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu (Bedner 2007): 1) sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; 2) sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan 3) sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan.
Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan.
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau dugaan adanya pencemaran dan atau perisakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan  “Dispute a conflict or conroversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa inggrisnya pun beragam :“dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.[1] Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 25 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini telah dijamin dalam undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Hal yang sama juga diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya, yakni UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) dan UU No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUKPPLH 1982).
Khusus terhadap penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan diluar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini[2].
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 membawa perkembangan berarti bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia dengan diakuinya hak-hak prosedural penyelesaian sengketa lingkungan dilakukan di dalam maupun di luar pengadilan, berikut ini akan disajikan model-model penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang meliputi :
1)       Penyelesaian Di Dalam Pengadilan (Litigasi)
Suyud Margono berpendapat bahwa litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritulisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan (Suyud Margono, 2004:23).
Litigasi sangat formal terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Kelebihan dari litigasi adalah proses beracara jelas dan pasti sudah ada pakem yang harus diikuti sebagai protap. Adapun kelemahan litigasi adalah proses lama, berlarut-larut untuk mendapatkan putusan yang final dan mengikat menimbulkan ketegangan antara pihak permusuhan; kemampuan pengetahuan hukum bersifat umum; tidak bersifat rahasia; kurang mengakomodasi kepentingan yang tidak secara langsung berkaitan dengan sengketa (dalyerni. multiply.com).
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi adalah sebagai berikut :
a)        Jika para pihak gagal mencapai kespakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat dalam suatu proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
b)        Catatan mediator wajib dimusnahkan
c)        Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses perkara yang bersangkutan.
d)        Mediator tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan mengajukan “gugatan lingkungan”  berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (“onrechtmatigedaad”).
Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kalah dalam berperkara di pengadilan besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban pencemaran sebagai penggugat adalah :
  1. membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld”) dan unsur hubungan kausal.[3]  Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya.
  2. Masalah beban pembuktian (“bewijslast” atau “burde of proof”) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat.[4]  Padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat (seperti dalam “Tragedi Ajinomoto” di Mojokerto).
Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatannya.[5]  Menyadari kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan(privaatrechtelijk miliuerecht) mengenal asas tanggunggugat mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid) yang dianut pula oleh Pasal 88 UUPPLH. Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat.
Apakah asas “strict liability” diterapkan untuk semua gugatan lingkungan?
Asas “strict liability” lazimnya hanya diimplementasikan pada “types of situation” tertentu (kasuistik), termasuk “types of situation” bagi berlakunya “strick liability” adalah “extra-hazardous activities” yang menurut pasal 88 UUPPLH meliputi sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang :
  1. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
  2. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan atau,
  3. Menghasilkan limbah B-3.
  4. Kegiatan pengelolaan zat dan limbah radioaktif berdasarkan Pasal 28 Undang-undang nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
  5. Pencemaran lingkungan laut di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sedasar Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia.
  6. Pencemaran minyak di laut (wilayah) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability Oil Pollution Damage – CLC (vide penyempurnaanya tahun 1992) jo Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund Convention).
Ukuran dampak besar dan penting tentu sangat saintifik dan membutuhkan pengaturan hukum yang cermat demi terjaminnya kepastian hukum.
Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah untuk memenuhi rasa keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.[6]
2)     Penyelesaian Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien. Hal mana mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak sedikit. Hal ini disebabkan proses penyelesaian sengketa lambat, biaya beracara di pengadilan mahal, pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan sering tidak mampu menyelesaikan masalah dan penumpukan perkara ditingkat Mahkamah Agung yang tidak terselesaikan.
Sementara itu, dalam persidangan perdata di Indonesia, kapan perkara dapat terselesaikan secara normatif tidak ada aturan hukum yang jelas, sehingga bagi yang beritikad buruk akan semakin lama menikmati sesuatu kebendaan yang bukan miliknya, sebaliknya yang beritikad baik akan semakin menderita kerugian oleh karena suatu sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selain itu terkait dengan beban pembuktian dalam proses penyelesaian melalui litigasi merupakan kewajiban penggugat sebagaimana dijelaskan diatas, padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah.
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bagi bangsa Indonesia telah ada sebelum kita merdeka. Dalam Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda yang bernama Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV). Ketentuan ini tetap berlaku sebelum ada peraturan yang baru, sebab peraturan Undang-Undang Dasar 1945 tetap mengakui keberadaannya sebelum diganti oleh peraturan yang baru.
Perkembangan yang terjadi setelah Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV), pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional, seperti konvensi Washington dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1968, Konvensi New York diratifikasi dalam Keppres Nomor 34 Tahun 1981.
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian sengketa di luar pengadilan tetap diakui keberadaannya oleh pemerintah dengan memasukkannya dalam salah satu pasal Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan  Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan. Selain itu penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang –undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian.
Pemerintah sepenuhnya dalam menindaklanjuti ketentuan dalam pasal 3 dan 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut, maka pemerintah mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pemerintah pada tahun 1999 mengundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase secara tegas menyatakan sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan  diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
Khusus terhadap sengketa lingkungan hidup, pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dilakukan melalui sebuah lembaga baik yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 yang dinyatakan bahwa, lembaga jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sementara itu, lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dan berkedudukan di instansi yang betanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan (pasal 8 ayat 1,2, dan 3).
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya. Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan dan/atau menjamin adanya tindakan guna mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tersebut dapat difasilitasi melalui jasa pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, seperti pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah dan masyarakat dalam hal ini dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan.
Adapun bentuk penanganan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat melalui  Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan fact finding. Berikut akan dijelaskan masing-masing bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
a.        Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti kekuasaan  untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Menurut Frank Elkoury arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Sedangkan menurut Prof. Gary Goodpaster “arbitration is theprivete adjuducaticn of dispute parties, anticipating possible dispute or experience an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion selec.”
Menurut UUNo. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas, pada dasamya terdapat kesamaan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh orang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit yang ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara rnusyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.
Menurut Felix OS ada beberapa alasan mengapa para pihak menggunakan arbitrase, yaitu:
a).       Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan. Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagang dan investor sebab memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat has kepada mereka. Secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga menghindari kemungkinan pihak lokal dari mereka yang terlibat dalam satu perkara.
b).      Wasit/arbiter memiliki keahlian (expertise). Para pihak seringkali memilih arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap keahlian arbiter mengenai persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka menyerahkan penyelesaian kepada pihak pengadilan yang telah ditentukan. Lebih cepat dan hemat biaya. Proses pengadilan keputusan arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal dan lebih murah daripada proses litigasi di pengadilan.
c).       Bersifat rahasia. Proses pengambilan keputusan dalam lingkungan arbitrase bersifat privat dan bukan bersifat umum, sehingga hanya para pihak yang bersengketa saja yang tahu.
d).      Adanya kepekaan arbiter/wasit. Arbiter dalam pengambilan keputusan lebih mempertimbangkan sengketa sebagai bersifat privat dari pada bersifat umum/publik. Hal ini berbeda dengan di pengadilan yang lebih mengutamakan kepentingan umum.
e).       Pelaksanaan putusan lebih mudah dilaksanakan. Dalam perikatan arbitrase ada dua macam klausula arbitrase, yaitu Pactum de Compromitendo dan Acta Cimpromise. Klausula Pactum de compromitendo dibuat sebelum persengketaan terjadi, bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau dalam suatu perjanjian yang tersendiri di luar perjanjian pokok. Sedangkan Acta compromise dibuat selelah terjadi sengketa yang berkenaan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Jadi klausula ini ada setelah sengketa terjadi dan kedua belah pihak setuju bahwa sengketa yang terjadi akan diselesaikan dengan arbitrase.
Dari bentuknya di Indonesia dikenal dua macam lembaga arbitrase, yaitu arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc.
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sifatnya permanen dan melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, dan pengangkatan para arbiter.
Arbitrase Ad Hoc atau arbitrase volunter adalah badan arbitrase yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan/memutuskan perselisihan tertentu sesuai kebutuhan saat itu. Setelah selesai tugasnya badan ini bubar dengan sendirinya.
Ciri- ciri arbitrase antara lain :
(1)     Adanya pihak ketiga netral yang terdiri dari seorang atau panel dari arbiter.
(2)     Argumentasi dalam arbitrase dapat disampaikan baik lisan maupun tertulis dengan dokumen tertentu sebagai bukti.
(3)     Keputusan arbutrase bersifat mengikat
(4)     Dalam arbitrase terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan provisional relief, initiating arbitrations, dan law applied by the arbitrator (Nolan-Haley,1991:128,149-155)[7]
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup menggunakan arbitrase secara teoritis memang lebih cepat dan “murah” dan dengan prosedur yang sederhana namun pilihan ini kadang dirasa kurang tepat dikarenakan arbitrase menyerupai dengan pengadilan, sehingga keputusan yang diambil bisa saja tidak menimbulkan kepuasan dari kedua belah pihak dan win-win solutions tidak dapat tercapai.
Badan arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah Badan Arbitrase Indonesian (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri pada tanggal 3 Desember 1977 dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia(BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 21 Oktober1993.
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada prinsipnya mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan, yaitu : tahap persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan  perkara.  Tahap  persiapan antara lain meliputi :
1)        Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis;
2)        Penunjukan arbiter;
3)        Pengajuan    surat    tuntutan    oleh pemohon;
4)        Jawaban surat tuntutan oleh termohon;
5)        Perintah  arbiter  agar  para  pihak menghadap sidang arbitrase.
Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter.
Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan sebagai tahap terakhir, yaitu tahap untuk merealisasikan putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan negeri.
Adapun mekanisme  arbitrase  menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
  1. Permohonan arbitrase dilakukan dalam bentuk     tertulis     dengan     cara menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase yang memuat identitas para pihak, uraian singkat tentang sengketa yang disertai dengan lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat tuntutan   dan   surat   permohonan tersebut disampaikan kepada termohon yang    disertai    perintah    untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak   diterimanya   tuntutan   oleh termohon,    selanjutnya    diteruskan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah tersebut.
  2. Pemeriksaan sengketa arbitrase harus dilakukan   secara   tertulis,   kecuali disetujui para pihak maka pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis  arbitrase  dilakukan  secara tertutup. Jumlah arbiter harus ganjil, penunjukan 2 (dua) arbiter dilakukan oleh para pihak yang memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
  3. Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak apabila diperlukan.
  4. Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar kesaksiannya yang sebelumnya disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat memberikan keterangan tertulis atau didengar keterangannya di muka sidang arbitrase yang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
  5. Putusan arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, putusan tersebut harus diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, yang dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain.
Adapun syarat menjadi arbiter sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut :
  1. cakap melakukan tindakan hukum;
  2. berumur paling rendah 35 tahun;
  3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
  4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
  5. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
b.        Mediasi
Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Orang yang menjadi penengah disebut mediator. “ Mediation is private , informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties (Hendry Campbell Black)[8]Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, apabila antara kedua pihak tidak dapat menyelesaikan sendiri sengketa yang mereka hadapi, mereka dapat menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka mencapai persetujuan atau kesepakatan. Mediasi sendiri diatur dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Di dalam mediasi, seorang mediator mempunyai 2 macam peran yang dilakukan, yaitu pertama, mediator berperan pasif. Hal ini berarti para pihak sendiri yang lebih aktif untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi sehingga peran mediator hanya sebagai penengah, mengarahkan penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Kedua, mediator berperan aktif. Hal ini berarti mediator dapat melakukan berbagai tindakan seperti merumuskan dan mengartikulasi titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan dan memberikan pengertian kepada kedua belah pihak tentang penyelesaian sengketa. Dengan demikian seorang mediator diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut karena kedua pihak yang bersengketa bersifat menunggu.
Dalam proses mediasi yang dituntut dari mediator adalah kemampuan untuk memahami seluruh aspek kepentingan yang disengketakan dan kemampuan memfasilitasi proses pencapain masalah. Mediasi sebenarnya merupakan proses perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa dimana pihak-pihak tersebut secara aktif melakukan tawar-menawar untuk menyelesaikan masalah dengan bantuan mediator sebagai fasilisator.
Mediasi diatur dalam pasal 85 dan 86 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi dinilai merupakan langkah terbaik melihat bahwa keputusan hasil perundingan mediasi merupakan responsif atas permasalahan yang disengketakan disamping melihat pada segi biaya dan waktu yang relatif lebih minimal.
Dari uraian tersebut dapat disampaikan bahwa ciri-ciri dan syarat penyelesaian  sengketa  lingkungan hidup melalui mediasi adalah :
Ciri-ciri :
(1)     Perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
(2)     Pihak ketiga netral tersebut dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
(3)     Tugas mediator adalah memberikan bantuan substansial dan prosedural, dan terikat pada kode etik sebagai mediator.
(4)     Mediator tidak berwenang mengambil keputusan. Keputusan diambil oleh pihak yang bersengketa itu sendiri.
Syarat :
(1)     Adanya kekuatan tawar menawar yang seimbang antara para pihak
(2)     Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan dimasa depan
(3)     Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
(4)     Adanya urgensi untuk menyelesaikan secara cepat
(5)     Tidak adanya rasa pemusuhan yang mendalam atau yang telah berlangsung lama di antara para pihak
(6)     Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan dapat dikendalikan
(7)     Membuat suatu preseden atau mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan dengan penyelesaian sengketa yang cepat
(8)     Jika para pihak berada dalam proses litigasi, maka kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti pengecara atau penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, mediasi akan menguntungkan kedua belah pihak, selain proses penyelesaiannya yang cepat dan biaya murah. Selain bergantung kepada mediator, hasil dari negosiasi dapat juga dikatakan gagal apabila ada salah satu pihak yang  melakukan pengingkaran terhadap hasil mediasi.
Mekanisme    penyelesaian sengketa   menggunakan   mediasi   perlu dikemukakan mengenai peran dan fungsi mediator sebagaimana yang dikemukakan oleh Raiffa yaitu sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan perannya, yakni :[9]
1)        Penyelenggara pertemuan;
2)        Pemimpin diskusi netral;
3)        Pemelihara   atau   penjaga   aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab;
4)        Pengendali emosi para pihak;
5)        Pendorong pihak/ perunding yang kurang     mampu     atau     segan mengemukakan pandangannya.
Sisi peran yang kuat oleh mediator bila dalam perundingan adalah mengerjakan/melakukan  hal-hal  diantaranya :
  1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundiangan;
  2. Merumuskan titik temu/kesepakatan para pihak; membantu para pihak agar menyadari, bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tapi diselesaikan;
  3. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah;
  4. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono, menyebutkan 7 (tujuh) fungsi mediator, yakni :
  1. Sebagai katalisator (catalyst) mengandung pengertian  bahwa  kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
  2. Sebagai  pendidik  (educator)  berarti seorang   mediator   harus   berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika  perbedaan  diantara  para pihak.
  3. Sebagai penerjemah (translator), berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai narasumber (resource person), berarti   seorang   mediator   harus mendayagunakan     sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti seorang mediator harus menyadari, bahwa para pihak dalam   proses   perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak untuk menampung berbagai usulan.
  6. f.      Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti   mediator   harus   berusaha memberi  pengertian  secara  terang kepada   salah  satu   pihak  bahwa sasarannya  tidak  mungkin/  tidak masuk akal untuk dicapai melalui perundingan.
  7. Sebagai  kambing  hitam  (scapegoat), berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Lebih  lanjut,  mekanisme  mediasi sebenarnya tergantung pada situasi sosial dan budaya masyarakat dimana para pihak berada.    Secara    garis    besar    dapat dikemukakan   tahapan-tahapan   mediasi sebagai berikut :
  1. Tahap pembentukan forum.
Pada awal mediasi, sebelum rapat antara  mediator  dan  para  pihak, mediator menciptakan atau membentuk  forum.  Setelah  forum terbentuk, diadakan rapat bersama.
Mediator memberi tahu kepada para pihak mengenai bentuk dari proses, menjelaskan  aturan  dasar,  bekerja berdasar   hubungan   perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila  para pihak sepakat melanjutkan peruundingan, para pihak diminta komitmen untuk mentaati aturan yang berlaku.
  1. Tahap kedua: pengumpulan dan pembagian informasi.
Setelah tahap awal selesai, maka mediator meneruskannya dengan mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan atau penjelasan pendahuluan pada masing-masing pihak yang bersengketa. Pada tahap informasi, para pihak dan mediator dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilakan masing-masing pihak menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa tersebut.
Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau melakukan interupsi apapun. Mediator memberi setiap pihak dengar pendapat mengenai versinya atas sengketa tersebut.
Mediator harus melakukan kualifikasi fakta yang telah disampaikan, karena fakta yang disampaikan para pihak merupakan   kepentingan-kepentingan yang dipertahankan  oleh  masing-masing   pihak   agar   pihak   lain menyetujuinya.  Para  pihak  dalam menyampaikan fakta memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak, untuk mengukuhkan bahwa mediator telah mengerti para pihak, mediator   secara   netral   membuat kesimpulan atas penyajian masing- masing pihak, mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan mengenai sengketa.
  1. Tahap ketiga, merupakan tahap penyelesaian masalah.
Selama tahap tawar-menawar atau perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-sama dan terkadang terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak merumuskan permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator mengadakan “caucus” dengan masing-masing dalam mediasi. Suatucaucus  merupakan pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi atau pertemuan sendiri antara para pihak pada satu sisi dengan mediator.[10] Mediator menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan pribadi dengan para pihak secara terpisah, dalam hal ini mediator dapat melakukan tanya jawab secara mendalam  dan  akan  memperoleh informasi  yang  tidak  diungkapkan pada suatu kegiatan mediasi bersama.
Mediator juga dapat membantu suatu pihak untuk menentukan alternatif-alternatif   untuk   menyelesaikannya, mengeksplorasi serta mengevaluasi pilihan-pilihan, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian secara lebih terbuka. Apabila   mediator akan mengadakan caucus, harus menjelaskan penyelenggaraan caucus ini kepada para   pihak,   menyusun   perilaku mediator sehubungan dengancaucus yang  mencakup  kerahasiaan  yaitu mediator tidak akan mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali sudah diberi wewenang untuk itu. Hal ini untuk menjaga netralitas dari mediator dan akan memperlakukan yang sama pada para pihak.
  1. Tahap pengambilan keputusan.
Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa yang akan mereka setujui atau sepakati. Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam perundingan.
Syarat menjadi Mediator sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai berikut :
  1. cakap melakukan tindakan hukum;
  2. berumur paling rendah paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
  3. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya;
  4. tidak ada keberatan dari masyarakat dan
  5. memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
c.         Negosiasi
Negosiasi secara umum dapat diartikan sebagai satu upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak tanpa melalui proses peradilan. Dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Dengan demikian negosiasi adalah proses tawar menawar yang bersifat konsensus yang di dalamnya para pihak berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang hal-hal yang disengketakan atau yang berpotensi menimbulkan sengketa. Para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Meskipun sederhana, negosiasi adalah suatu keterampilan yang bersifat mendasar yang dibutuhkan oleh para negosiator. Negosiasi baik yang bersifat tranksional (transactional negotiation) maupun dalam konteks penyelesaian sengketa (dispute negotiation), tidak hanya sekedar sebuah proses yang bersifat intuitive, melainkan proses yang harus dipelajari, perlu pengetahuan, strategi dan keterampilan tertentu. Menurut Suparto Wijoyo, bahwa negosiasi ini bersifat informal, tidak terstruktur, dan waktunya tidak terbatas.
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan negosiasi bisa saja unsur-unsur hukum tidak dipersoalkan, asalkan proses negosiasi tersebut mampu diselesaikan dengan baik dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Sukses atau tidaknya sebuah negosiasi tergantung oleh tujuan kedua pihak yang bersengketa, yang tentunya negosiasi tersebut akan mengalami kendala apabila salah satu pihak tidak memahami pentingnya negosiasi sehingga hanya menonjolkan hak-hak masing masing pihak. Selain berhadapan secara langsung antara kedua belah pihak, pada suatu keadaan tertentu masih tetap diperlukan perlunya orang ketiga yang memahami negosiasi sehingga hasil negosiasi justru tidak merugikan/menguntungkan salah satu pihak. Dalam proses bernegosisasi setidaknya ada 3 (tiga) aspek dalam proses negosiasi, untuk tercapainya sebuah negosiasi yang dilakukan oleh negosiator adalah sebagai berikut :
(1)     Culture
Budaya antar bangsa yang berlainan , perbedaan budaya tersebut mencakup pula pada kebiasaan,  pada masyarakat barat hukum diartikan ( right),  dan di masyarakat timur, seperti Cina yang mempunyai akar Confucius ,  hukum di anggap insturumen untuk menjaga ketertiban
(2)    Legal
Setiap negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan sengketa yang coba  untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan yang merupakan Public Policy, selanjutnya negosiator harus memahami instrument hukum   yang dapat di gunakan sebagai tanda tercapainya penyelesaian sengketa nantinya, umpamanya perlu nantinya di perkuat keputusan hakim
(3)    Practical
Pada aspek ini mutlak perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak dicapai dalam perundingan  untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Hal terpenting lainnya sehingga penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat terlaksana dengan baik adalah tidak adanya pengingkaran dari salah satu pihak terhadap hasil negosiasi. Pengingkaran baik seluruh atau sebagian kesepakatan akan mengakibatkan kegagalan negosiasi yang dapat berakhir dengan terjadinya konflik.
Supaya  negosiasi  dapat  berhasil dengan baik dan memuaskan para pihak, maka seorang negosiator harus menggunakan strategi dan taktik. Strategi-strategi negosiasi merupakan cara dasar dalam mengendalikan hubungan kekuatan, pertukaran informasi, dan interaksi diantar para pihak pelaku negosiasi.
Menurut Garry Goodpaster, dikatakan meskipun mekanisme negosiasi sangat kompleks dan beragam, namun secara esensial ada tiga strategi dasar negosiasi yaitu :
  1. Bersaing (competiting);
Negosiasi dengan cara bersaing atau kompetitif, disebut juga  “hard bargaining” (tawar-menawar bersikeras), distributif, posisional, “zero-sum bargaining” (menang tawar-menawar sebesar kekalahan pihak lawan) atau “win-lose bargaining” (tawar-menawar menang kalah).  Negosiasi bersaing mempunyai maksud memaksimalisasi keuntungan   yang   didapat   pelaku tawar-menawar  kompetitif  terhadap pihak  lain,  yaitu  untuk  mencari kemenangan, berupaya mendapatkan harga termurah, laba yang besar, biaya rendah,   persyaratan   yang   lebih menguntungkan dibandingkan dengan pihak lain.
  1. Kompromi (compromising);
Strategi negosiasi kompromi disebut juga “soft bargaining” (negosiasi lunak), “win-some-lose-some” (mendapat dengan member) atau “take and give bargaining”. Hal ini berarti bahwa salah satu pihak harus memberi ganti atas beberapa yang   diinginkan   agar   mendapat sesuatu. Pada prinsipnya satu pihak harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan kesepakatan, negosiator tidak   mendapatkan   semua   yang diinginkannya, tetapi hanya sebagian.
  1. Kolaborasi pemecahan masalah (problem solving).
Negosiasi  berkolaborasi  pemecahan masalah (problem solving) disebut juga negosiasi integratif atau kepentingan (positive-sum atau win-win). Strategi ini para pihak bertujuan memenuhi kepentingan sendiri, juga kepentingan pihak  mitra untuk memaksimalkan keuntungan, para pihak harus berkolaborasi guna menyelesaikan masalah dari penemuan tindakann bersama yang dapat mereka lakukan guna memenuhi kepentingan masing-masing
Terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, yaitu :
(1) kekuatan tawar-menawar; (2) pola tawar-menawar;   (3)   strategi   dalam   tawar-menawar.[11]Melakukan negosiasi untuk menyelesaikan  sengketa  harus  melalui tahapan-tahapan  sebagaimana  pendapat Howard Raiffa (seperti dikutip oleh Suyud Margono) sebagai berikut : [12]
1)       Tahap persiapan
Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang harus dipersiapkan adalah apa  yang dibutuhkan/diinginkan. Dengan kata    lain, negosiator   harus   mengenali   dulu kepentingan sendiri sebelum mengenali kepentingan   pihak   lain,   misalnya seberapa terbukanya informasi yang harus diberikan, dimana perundingan akan dilaksanakan, apa sasaran yang diinginkan.  Tahap    ini    sering diistilahkan  dengan  know  yourself.
Dalam tahap persiapan ini, juga perlu menelusuri berbagai alternatif lainnya, apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (Best Alternative To A Negotiated Agreement). Dalam tahap ini perlu juga menentukan  hal-hal  yang  bersifat logistik,  seperti  siapa yang  harus bertindak sebagai perunding, perlukah menyewa perunding yang mempunyai ketrampilan khusus, apabila perundingan bersifat internasional bahasa apakah yang akan digunakan serta siapa yang bertanggungjawab menyediakan penerjemah. Selanjutnya  dilakukan   simulasi   (simulated   role playing), hal ini sangat bermanfaat dalam mempersiapkan strategi bernegosiasi.
2)       Tahap tawaran awal (opening gambit)
Dalam tahap ini seorang perunding melakukan strategi tentang siapa yang harus lebih dahulu menyampaikan tawaran, bagaimana menyikapi tawaran awal tersebut. Apabila ada dua tawaran dalam perundingan, biasanya midpoint (titik diantara dua tawaran) merupakan solusi atau kesepakatan, sebelum   midpoint   dijadikan   kesepakatan   hendaknya   dibandingkan dengan level aspiration para pihak.
3)       Tahap pemberian konsesi (the negotiated dance)
Konsesi  yang  harus  dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang diberikan oleh pihak lawan.   Seorang   perunding   harus melakukan   kalkulasi   yang   tepat tentang agresifitas, seperti bagaimana menjaga hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap pihak lawan, dan fairness. Negosiator mempunyai peranan penting dalam konsesi dan menjaga posisi tawar sampai pada tingkat yang diinginkan.
4)       Tahap akhir permainan (end play)
Tahap akhir permainan ini meliputi pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.
Lebih lanjut Howard Raiffa menyatakan, agar suatu negosiasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan  yang  bersifat  stabil,  ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, di antaranya sebagai berikut:
  1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran (willingness);
  2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);
  3. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);
  4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining power);
  5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah
d. Konsiliasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara negosiasi. Konsiliasi juga dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam konsiliasi bisa berubah fungsi menjadi konsiliator, dan jika tercapai kesepakatan, maka konsiliator berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang bersengketa.


  1. e.      Pencarian fakta (fact finder)
Pencarian fakta sangat diperlukan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Fakta-fakta sangat dibutuhkan dalam proses negosiasi ataupun mediasi. Pencarian fakta ini dilakukan oleh pihak yang netral yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan keterangan untuk dapat dilakukan evaluasi dengan tujuan memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa. Adapun yang bisa dilakukan oleh tim pencari fakta tesebut adalah :
(1)    Pemeriksaan kebenaran pengaduan.
(2)    Meneliti sumber pencemaran lingkungan hidup
(3)    Meneliti tingkat pencemaran suatu lingkungan hidup.
(4)    Meneliti siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perusakan lingkungan hidup.
Hasil dari tim pencari fakta tersebut akan sangat berguna untuk menentukan keputusan terhadap perselisihan sengketa lingkungan hidup
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dengan demikian salah satu yang ditempuh yaitu melalui Lembaga Penyedia Jasa. Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 54 Tahun 2000. Memang PP Nomer 54 tahun 2000 ini kelahirannya merupakan amanat dari Undang-undang Nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetapi dalam UUPPLH 2009 menyatakan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UUPLH 2009.[13]
Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertangung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan.
Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Apabila cara ini tidak berhasil menyelesaikan masalah maka para pihak dapat menggunakan mekanisme arbitrase atau menggunakan mediator. Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Sedangkan penyelesaian dengan menggunakan Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya dilakukan sebagai berikut.
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator, atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa. Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya. Kesepakatan tersebut memuat antara lain:
  1. masalah yang dipersengketakan;
  2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
  3. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
  4. tempat para pihak melaksanakan perundingan;
  5. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
  6. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
  7. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya;
  8. larangan pengungkapan dan/atau pemyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;
  9. kehadiran Pengamat, ahli dan/atau nara sumber;
  10. larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat;
  11. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan.
Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan:
  1. Mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan; dan/atau
  2. Mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi
Apabila terjadi hal yang demikian itu maka :
  1. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau
  2. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya.
Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai yang memuat antara lain:
  1. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
  2. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
  3. uraian singkat sengketa;
  4. pendirian para pihak;
  5. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya;
  6. isi kesepakatan;
  7. balas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
  8. tempat pelaksanaan isi kesepakatan;
  9. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
Isi kesepakatan tersebut dapat berupa antara lain:
  1. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
  2. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.

[1] TM. Lutfi Yazid, 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmental Dispute Resolution), Surabaya: Airlangga University Press-Yayasan Adikarya IKAPI-Ford Foundation, h. 9
[2] Pasal 85 ayat (2) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi : “(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
[3] Sebagaimana diketahui Pasal 1365 BW ada persamaan dengan Pasal 1401 BW Belanda (lama) atau artikel 6.3.1.1. NBN), dan untuk mendapatkan ganti kerugiari berdasarkan pasal tersebut, menurut Lamber‘s harus dipenuhi persyaratan berikut: (a) Perbuatan harus bersifat melawan hukum; (b) Pelaku harus bersalah; (c) Ada kerugian; (d) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian, lihat Siti Sundari Rangkuti, hukum Lingkungan…, op. Cit., h. 246
[4] Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang mengendalikan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
[5] Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan: Dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum, Pidato Pengukuhan, Airlangga University Press, Surabaya, 1991, h. 16
[6] Lihat Mas Achmad Santosa et al., Penerapan Atas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta, 1997, h. 59
[7] Hyronimus Rhiti, S.H.,LLM, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2006.hlm .123
[8] Sodikin,SH,M.Hum, Penegakan hukum lingkungan tinjauan atas UU No. 23 tahun 1997,Jakarta:Djambatan, 2003
[9] Howard Raiffa, The Art and Science of Negotiation, Cambridge, Massachusetts : Harvard University Press, 1982, dalam Suyud Margono, hal. 55
[10] Garry Goodpaster, Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 246
[11] Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 21-24
[12] Howard Raiffa, The Art and Science of Negotiation, Cambridge, Massachusetts : Harvard University Press, 1982, dalam Suyud Margono op.cit., Hal. 48-50
[13] Pasal  124 Undang-undang Nomer 32 tahun 2009 yang berbunyi : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.
»»  Baca Selanjutnya...

Apa itu AMDAL, UKL dan UPL?

AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.

Guna AMDAL Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan. § Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan § Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup § Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan.
Jenis-jenis  AMDAL tunggal
 
Jenis-jenis AMDAL tunggal adalah hanya satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan pembinaannya di bawah satu instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan AMDAL.
TERPADU/MULTISEKTORAL adalah hasil kajian mengenai dampak besar dan penting usaha/kegiatan terpadu yang direncanakan terhadap LH dan melibatkan lebih dari 1 instansi yang membidangi kegiatan tersebutKriteria kegiatan terpadu meliputi : berbagai usaha/kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam perencanaan dan proses produksinya Usaha dan kegiatan tersebut berada dalam satu kesatuan hamparan ekosistem AMDAL KAWASAN adalah hasil kajian mengenai dampak besar dan penting usaha/kegiatan yang direncanakan terhadap LH dalam satu kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan RT RW yang ada.
AMDAL Lahan basah
Panduan penyusunan AMDAL LAHAN BASAH sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.5 tahun 2000. Salah satu kategori wilayah yang perlu dioptimalkan pembangunannya adalah kawasan lahan basah.
TIPELOGI EKOSISTEM terbagi menjadi 3 zona :
·
Ekosistem sungai
kawasan sepanjang kanan kiri sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai Kriteria sempadan sungai : Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman Untuk sungai di kawasan permukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu 10 sampai 15 meter
·
Ekosistem pantai
kawasan tertentu sepanjang pantai yangmempunyai manfaat penting untukmempertahankan dan melindungi kelestarianfungsi pantai dari gangguan kegiatan ataupunproses alam. Kriteria : dataran sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
·
Ekosistem Sekitar Waduk dan Rawa Berhutan Bakau.
Kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang mempunyaimanfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsiwaduk/danau. Perlindungan terhadap kawasan sungai/wadukdilakukan untuk melindungi danau/waduk. Kriteria : sepanjang tepian danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
KAWASAN RAWA BERHUTAN BAKAU Kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau(mangrove) yang berfungsi memberikan perlindungan kepadaperikehidupan pantai dan lautan. Kriteria : Minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
Lahan genangan air secara alamiah yang terjadi secara terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus TERMASUK DALAM KAWASAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG Kawasan hutan lindung Kawasan suaka alam darat Kawasan bergambut Kawasan mangrove Kawasan resapan air Taman Nasional Sempadan pantai Taman hutan raya Sempadan sungai Taman wisata alam Kawasan sekitar waduk/danau Kawasan cagar budaya dan Kawasan sekitar mata air Ilmu pengetahuan Kawasan suaka alam laut dan perairan Kawasan rawan bencana.
Pengertian  UKL dan UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
Kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya
AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
»»  Baca Selanjutnya...

Pengertian hukum lingkungan menurut UU No 32 tahun 2009


Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,termasuk manusia dan perilakunya, yangmempengaruhi alam itu sendiri, kelangsunganperikehidupan, dan kesejahteraan manusia sertamakhluk hidup lain
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
·         Melindungi wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
·         Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia
·         Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem
·         Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup
·         Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup
·         Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
·         Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia
·         Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam
·         Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
·         Mengantisipasi isu lingkungan global
Perlindungan dan pengelolaan hukum meliputi:
§  Perencanaan
§  Pemanfaatan
§  Pengendalian
§  Pemeliharaan
§  Pengawasan
§  Penegakan hukum
Pengawasan dan penegakan hukum
Pengawasan
1.   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2.   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
3.   Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional
4.   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
5.   Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
6.   Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang:
      a.  melakukan pemantauan
      b.  meminta keterangan
c.  membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan
d. memasuki tempat tertentu
e.  memotret
f.  membuat rekaman audio visual
g. mengambil sampel
h. memeriksa peralatan
i.  memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi dan/atau
j.  menghentikan pelanggaran tertentu.
7.   Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan    koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil
8.   Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
9.   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah

Penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
v  Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
v  Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
v  Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
      Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengankewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarianfungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasimerupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjatapamungkas (ultimum remedium)
            Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidupbaru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dantelah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyatatidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukanpelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudahdiupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentukmusyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu,dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapatdigunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup
Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi(Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yangdiperoleh dari Udang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memiliikewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenanganbertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena masalahlegitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasandan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan olehundang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus olehpemerintah.Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan kepadaPemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 23tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadappenanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinyapelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukantindakan penyelamatan, penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawabusaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/ Walikotamadya/ kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.Pihak ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yangberwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2).Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didahulukan dengan suratperintah dari pejabat berwenang.Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai keterbatasan.Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itupenegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut.Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatutujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibatdari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalianpencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusahadapat dimintakan pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya.Teerdapat beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan hokumlingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan) diuraikan sebagaitindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang olehsuatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan olehpara warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan yangmenguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal initidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu danmenurut sifanya "dapat diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala)

Ada Beberapa Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
1. Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum Lingkungan
Jelas, penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana. Menurut Hamzah (2005:51) pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Hamzah, 2005:51).Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga mengetahui terjadinya kejahatan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis. Jalur ini jelas hukum pidana. Akan tetapi, jaksa masih dapat menyelesaikan berdasarkan azas oportunitas, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residiv bahkan telah menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan melakukan tugasnya. Agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan pidana) maka penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik.
2. Kendala Dalam Pembuktian
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada tahun1988, dua diantara 70 perusahan/industri yang diduga memberikan kontribusi pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya, dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur subyektifitas.
3. Infrastruktur Penegakan Hukum
Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam mengatasi pembakaran hutan adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Kompleksitas masalah pembakaran hutan bukan tanpa jalan keluar. Negara harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang di kawasannya terdapat titik api. Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi kebakaran di dalam satu konsesi kehutnan atau perkebunan, yaitu mereka sengaja membakar atau mereka tidak serius menjaga kawsannya agar bebas dari kebakaran. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan angka pembakaran hutan akan turus secara drastis. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.
4. Budaya Hukum yang Masih Buruk
Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Misalnya proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Bandan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo tahun anggaran 2008 lalu terdakwa bersekongkol dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hasan Basri (Didakwa dengan kasus yang sama) memperkaya diri sendiri sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 193 juta lebih. Kasus lainnya adalah dugaan korupsi penanaman pohon senilai Rp473,9 juta yang menggunakan dana APBD 2006, ke Pengadilan Negeri (PN) Depok. Kasus tersebut melibatkan Asep Suganda, yang saat ini menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan Bangunan (Distakotbang). Dikatakannya, tersangka Asep diduga menyelewengkan dana untuk penanaman 5.000 batang pohon di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung senilai Rp223,9 juta, serta Rp250 juta untuk penanaman 1.250 pohon di Taman Hutan Rakyat (Tahura). Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.

»»  Baca Selanjutnya...

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA


DAN PERAN SERTA MASYARAKAT



I.PENDAHULUAN.

Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri, karena kaitannya yang sangat erat dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum lingkungan di dalamnya.
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnyamanusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law.
Hukum Lingkungan Klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Hukum Lingkungan Klasik bersifat sektoral, serta kaku dan sukar berubah.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan Hukum lingkungan di Indonesia. Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Millieu recht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka Hukum Lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).
Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Hukum Lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.
Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum pemerintahan.

II.SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA.

Peraturan-peraturan yang orientasinya menyangkut lingkungan, baik disadari atau tidak sebenarnya telah hadir di masa abad sebelum Masehi, misalnya di dalam Code of Hammurabi yang ada di dalamnya terdapat salah satu klausul yang menyebutkan bahwa “sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya sehingga runtuh dan menyebabkan lingkungan sekitar terganggu”. Demikian pula di abad ke 1 pada masa kejayaan Romawi telah dikemukakan adanya aturan tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan terhadap lingkungan.
Di Indonesia sendiri, organisasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup sudah dikenal lebih dari sepuluh abad yang lalu. Dari prasasti Juruna tahun 876 Masehi diketahui ada jabatan ”Tuhalas” yakni pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan Pelestarian Alam (PHPA). Kemudian prasasti Haliwangbang pada tahun 877 Masehi menyebutkan adanya jabatan ”Tuhaburu” yakni pejabat yang mengawasi masalah perburuan hewan di hutan. Contoh lain adalah pengendalian pencemaran yang ditimbulkan oleh pertukangan logam; kegiatan membuat logam, yang sudah tentu menimbulkan pencemaran dikenai pajak oleh petugas yang disebut ”Tuhagusali”.
Pertumbuhan kesadaran hukum lingkungan klasik menghebat, bermula pada abad ke-18 di Inggris dengan kemunculan kerajaan mesin, dimana pekerjaan tangan dicaplok oleh mekanisasi yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Dengan demikian terbukalah jaman tersebarnya perusahaan-perusahaan besar dan meluapnya industrialisasi yang dinamakan ”revolusi industri”. Dengan kepentingan untuk menopang laju pertumbuhan industri di negara-negara dunia pertama atau negara-negara yang telah maju indstrinya, sementara persediaan sumber daya alam di negara-negara dunia pertama semakin terbatas maka diadakanlah penaklukan danpengerukan sumberdaya alam di negara-negara dunia ketiga (Asia-Afrika).
Pada masa itu negara-negara yang telah mengalami proses industrialisasi telah banyak diadakan peraturan yang ditujukan kepada antisipasi terhadap dikeluarkannya asap yang berlebihan baik dalam perundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim. Selain itu dengan adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang medis, telah dikeluarkan pula peraturan-peraturan tentang bagaimana memperkuat pengawasan terhadap epidemi untuk mencegah menjalarnya penyakit di kota-kota yang mulai berkembang dengan pesat.
Namun demikian, sebagian besar dari hukum lingkungan klasik, baik berdasarkan perundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berkembang sebelum abad ke-20, tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi hanyalah untuk berbagai aspek yang menjangkau ruang lingkup yang sempit.

1.Zaman Hindia Belanda.Dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat peraturan-peraturan sejak zaman Hindia belanda, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH. ML. “Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan peraturan-Peraturan perundangan di Bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan hidup diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1978, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kali diatur adalah mengenai Perikanan, mutiara, dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij, Sponserviss cherijordonantie (Stb. 1916 No. 157) dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga mil-laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia).
Yang dimaksud dengan melakukan perikanan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut
Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan.
Dalam hubungan dengan terjemahan Hinder Ordonantie menjadi undang-undang Gangguan yang sering terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturan perlu dikemukakan bahwa ordonantie tidak dapat diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonantie merupakan produk perundang-undangan zaman penjajahan Hindia Belanda, sedangkan Undang-undang merupakan produk negara yang merdeka. Meskipun sebuah ordonantie hanya dapat dicabut dengan sebuah undang-undang, ini tidaklah berarti ordonantie dapat diterjemahkan dengan undang-undang. Istilah yang tepat adalah mentransformasikan ordonantie ke dalam bahasa Indonesia menjadi ordonansi. Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini.
Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stb1.1931 No.133) dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 (Stb1.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940. Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurhermings Ordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut. Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan pembedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam. Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stads Vormings Ordonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang menarik di sini adalah bahwa Stadsvormings Ordonnantie diterbitkan pada tahun 1948, padahal Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda.
Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu seperti pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).

2.Zaman Jepang.
Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata, alba, balsem dimana dalam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi sangat kuat.

3.Periode Setelah Kemerdekaan .
Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain : a) UU No. 4 prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia; b) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan; c) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan. d) UU No. 1 Tahun 1973 tentang landas Kontinen Indonesia; e) UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan; f) UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; g) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; h) UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; i) UU No. 17 Tahun 1985 tentang I Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982; j) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya; k) UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; l) PP No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN No. 20 Tahun 1974 TLN No. 3031); m) PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; n) PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah; o) Keputusn menteri pertanian No. 67 tahun 1976 tentang Empat Daerah Operasi Bagi Kapal-kapal Perikanan; p) Keputusan presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; setelah dilakukan penggantian terhadap UU No. 4 Tahun 1982 dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup, juga mulai memperhatikan bagaimana untuk menjaga agar lingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-Undang yang menjaga agar bagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya proses pembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Peraturan Perubahan Atas Peraturan Pemerintah. q) Keputusan presiden No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam rangka membentuk aparatur dalam bidang lingkungan hidup, maka berdasarkan Keppres No 28 Tahun 1978 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No 35 Tahun 1978, terbentuklah Kementrian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) dan sebagai Mentri Negara PPLH telah diangkat Emil Salim. Kemajuan lebih lanjut dari kinerja Kementrian Negara PPLH ditandai dengan diterbitkannya peraturan perundangan bidang lingkungan hidup yang pertama di Indonesia, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selanjutnya peraturan perundang-undangan No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : Kep-13/MENLH/3/94 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi amdal, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia Nomor : KEP 14/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang pedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, Keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan republik indonesia nomor : Kep-056 Tahun 1994 tentang pedoman mengenai ukuran dampak penting, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : KEP-15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang pembentukan komisi analisis mengenai dampak lingkungan terpadu, Keputusan presiden republik indonesia nomor : 77 tahun 1994 tentang badan pengendalian dampak lingkungan, Surat keputusan menteri perindustrian nomor : 250/M/SK/10/1994 tentang pedoman teknis penyusunan pengendalian dampak terhadap lingkungan hidup pada sektor industri., Keputusan bersama menteri kesehatan republik indonesia dan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup republik indonesia/kepala badan pengendalian dampak lingkunga nomor : 181/MENKES/SKB.II/1993, KEP.09/BAPEDAL/02/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan menteri dalam negeri nomor : 29 tahun 1992 tentang pedoman tata cara pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan bagi proyek-proyek PMA dan PMDN di Daerah., Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 523 K/201/MPE/1992 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Penyajian Informasi Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan Rencana Pemantauan Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri Negara Lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-11/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor : 12 tahun 1995 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 1994 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 19 tahun 1994 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, Undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, Keputusan presiden republik indonesia nomor 75 tahun 1993 tentang koordinasi pengelolaan tata ruang nasional, Keputusan presiden republik indonesia nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 35 tahun 1991 tentang sungai, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 27 tahun 1991 tentang rawa, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, Undang-undang republik indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, Peraturan pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan pemerintah No. 20 tahun 19990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19 pebruari 1993 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor: Kep-42/MENLH/11/1994 tentang pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-10/MENLH/3/1994 tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup nomor : a. KEP-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman penentuan dampak penting dan lampirannya; b. KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan lampirannya; c. Kep-51/ MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya; d. Kep-52/MENKLH/6/1987 tentang batas waktu penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkugnan; e. Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi.

4.Konferensi Internasional Berkaitan Dengan Hukum Lingkungan Hidup.
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup. Pada tahun 1962, terdapat peringatan yang menggemparkan dunia yakni peringatan ”Rachel Carson” tentang bahaya penggunaan insektisida. Peringatan inilah yang merupakan pemikiran pertama kali yang menyadarkan manusia mengenai lingkungan. Seiring dengan pembaharuan, perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia international untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap lingkungan hidup.
Hal ini mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia. Gerakan sedunia ini dapat disimpulkan sebagai suatu peristiwa yang menimpa diri seorang sehingga menimbulkan resultante atau berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang mendorong manusia kedalam suatu kondisi tertentu, sehingga adalah wajar jika manusia tersebut kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang mempengaruhi dirinya dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. Inilah dinamakan ekologi.
Di kalangan PBB perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial atau lebih dikenal dengan nama ECOSOC PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan dasawarsa pembanguna dunia ke-1 tahun 1960-1970. pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan delegasi Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajakinya kemungkinan penyelenggaraan suatu konferensi international. Kemudian pada garakan konferensi PBB tentang ”Lingkungan Hidup Manusia” di Stockholm.
Dalam rangka persiapan menghadapi Konferensi Lingkungan Hidup PBB tersebut, Indonesia harus menyiapkan laporan nasional sebagai langkah awal. Untuk itu diadakan seminar lingkungan pertama yang bertema ”Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembanguna Nasional” di Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam seminar tersebut disampaikan makalah tentang ”Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran” oleh Moctar Kusumaatmadja, makalah tersebut merupakan pengarahan pengarahan pertama mengenai perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Mengutip pernyataan Moenadjat, tidak berlebihan apabila mengatakan bahwa Moctar Kusumaatmadja sebagai peletak batu pertama Hukum Lingkungan Indonesia.
Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia akhirnya diadakan di Stockholm tanggal 5-16 juni 1972 sebagai awal kebangkitan modern yang ditandai perkembangan berarti bersifat menyeluruh dan menjalar ke berbagai pelosok dunia dalam bidang lingkungan hidup. Konferensi itu dihadiri oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau serta telah menghasilkan telah menghasilkan Deklarasi Stockholm yang berisi 24 prinsip lingkungan hidup dan 109 rekomendasi rencana aksi lingkungan hidup manusia hingga dalam suatu resolusi khusus, konferensi menetapkan tangga 5 juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia.

III.DASAR HUKUM HAK ASASI MANUSIA ATAS LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang bagi rakyat Indonesia serta makluk hidup lainnya.
Dasar justifikasi argumen hak asasi manusia atas lingkungan diantaranya tercantum dalam:

A.Hukum Internasional.
Hak atas lingkungan tidak diatur secara ekplisit dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusaia (DUHAM). Namun, pasal 28 DUHAM dapat dijadikan dasar justifikasi argumen bahwa hak atas lingkungan adalah hak asasi manusia, begitu juga dalam Kovenan Hak Eksob, pasal 1 (2) dijadikan dasar justifikasi hak atas lingkungan adalah hak asasi manusia. Hak atas lingkungan sebagai HAM baru mendapatkan pengakuan dalam bentuk kesimpulan oleh Sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001: “bahwa setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

B.Hukum di Indonesia.
Secara konstitusional, hak atas lingkungan dalam hukum nasional Indonesia diantaranya tercantum dalam:
1.Alinea keempat Pembukaan UUD 1945: “membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”, serta dikaitkan dengan Hak Penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat”.
2.Amandemen UUD 1945 Pasal 28H (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh palayanan kesehatan”
3.Piagam HAM yang merupakan bagian tak terpisahkan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh Sidang Istimewa MPR tahun 1998 diantaranya menyatakan, bahwa manusia adalah mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggungjawab serta kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaan serta menjaga keharmonisan kehidupan.
4.UU No.23/1997 Pasal 5 (1): “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”; dan Pasal 8 (1): “Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah”
5. UU No.39/1999 tentang HAM Pasal 3, menyatakan: “masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
6. UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65 (1) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia".
IV.DASAR HUKUM PERAN SERTA MASYARAKAT ATAS LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.

Dasar hukum peran serta masyarakat terdapat dalam:
1. UUD 1945 Pasal 1(2), wujud kekuatan peran serta masyarakat berupa kedaulatan rakyat diakui secara penuh dan dilaksanakan menurut UUD.
2. Konteks hukum lingkungan diantaranya dinyatakan pada:
a. UU No. 23/1997 Pasal 5(3) dan Pasal 34 PP No. 27/1999 tentang AMDAL.
b. UU No.5/1990 Pasal tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
c. UU No. 4/1992 Pasal 29 tentang Perumahan dan Pemukiman.
d. UU No.10/1992 Pasal 24 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
e. UU No. 12/1992 Pasal 52 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
f. UU No. 16/1992 Pasal 29 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
g. UU No. 24/1992 Pasal . 5 tentang Penataan Ruang.
h. UU No. 41/1999 Pasal 70 tentang Kehutanan.
Peran serta masyarakat menjadi penting, karena peran serta masyarakat merupakan bagian dari prinsip demokrasi, yang salah satu prasyarat utamanya adalah adanya asas keterbukaan dan transparansi dengan 5 unsur utama (agar asas tersebut terpenuhi), yakni: 1) Hak untuk mengetahui; 2) Hak untuk memikirkan; 3) Hak untuk menyatakan pendapat; 4) Hak untuk mempengaruhi pengambilan keputusan; 5) Hak untuk mengawasi pelaksanaan keputusan.

V.PENYELESAIAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGADILAN DI INDONESIA.
1.Prosedur Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan.
Prosedur penyelesaian sengketa lingkungan yang dimungkinkan oleh perangkat hukum, yaitu:
1. Preventif, yang dilakukan sebelum pencemaran terjadi (PP No. 27/1999 Tentang Amdal).
2. Represif, yang baru dilakukan setelah pencemaran atau perusakan terjadi (Pasal 30 (1) UU No.23/1997).
Penyelesaian sengketa lingkungan masih tunduk pada 2 jenis dasar hukum, yaitu berperkara di pengadilan (Pasal 20(1), Pasal 34-39 UU No. 23/1997 jo. Pasal 1365 BW) dan musyawarah di luar pengadilan (Pasal 20(2), Pasal 31-33 UU No. 23/1997), yaitu penyelesaian sengketa lingkungan alternatif.

2.Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan.
Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup melalui pengadilan adalah dimana salah satu pihak yang sedang bersengketa mengajukan gugatan melalui pengadilan, dan meminta hakim untuk memeriksa dan memberi keputusan tentang siapa yang harus bertanggungjawab dalam sengketa tersebut. Proses ini merupakan suatu proses panjang, dan dalam sengketa lingkungan memerlukan cara pembuktian yang sangat rumit.
Kesulitan utama bagi korban pencemaran sebagai penggugat: Pertama, membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (schuld) dan unsur hubungan kausal. Terlebih membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah. Kedua, masalah beban pembuktian yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR-Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat, sedangkan korban pencemaran pada umumnya awam soal hukum dan berada pada posisi ekonomi lemah.
Kesulitan tersebut dijawab oleh pasal 35 UU No. 23/1997 melalui asas tanggungjawab mutlak (strict liability) sehingga unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pasal ini menerapkan asas tanggung jawab mutlak terbatas pada sengketa lingkungan akibat kegiatan usaha yang: a. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3), dan/atau c. Menghasilkan B-3.

3.Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
Sesuai pasal 30-33 UU PLH, penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat di luar pengadilan dengan mediasi menggunakan jasa pihak ketiga, dan outputnya adalah ganti rugi ataupun tindakan pemulihan kerusakan lingkungan yang terjadi. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Apabila upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil, baru dapat melakukan gugatan melalui pengadilan.

4.Prosedural Gugatan Lingkungan Hidup (Legal standing, Kelompok Masyarakat/Class Action, Citizen Law Suit).
Gugatan legal standing merupakan gugatan dimana penggugat tidak tampil di pengadilan sebagai penderita, tetapi sebagai organisasi mewakili kepentingan publik yaitu mengupayakan perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup. Legal standing pertama kali diakui oleh pengadilan Indonesia pada 1988 ketika PN Jakarta Pusat menerima gugatan Yayasan WALHI terhadap 5 instansi pemerintah dan PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU). Kriteria organisasi untuk mengajukan gugatan Legal Standing, yaitu: a) Berbentuk badan hukum atau yayasan; b) Dalam anggaran dasar organisasi disebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan publik; c) Melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
Gugatan class action yang dalam PERMA No. 1/2002 disebut sebagai gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Jika dalam legal standing tuntutan ganti rugi bukan merupakan lingkup penggugat, dalam Class Action hal itu adalah tuntutan dari penggugat.
Citizen Law Suit adalah akses orang perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi.

VI.KESIMPULAN DAN SARAN.

1.Hukum Lingkungan di Indonesia merupakan Hukum Lingkungan Modern yang memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, memperhatikan hak asasi manusia dan peran serta mayarakat termasuk lingkungan hidup itu sendiri, yang seiring dengan perkembangan hukum lingkungan hidup Internasional.
2.Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata, yang sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht).
3.Hukum Lingkungan di Indonesia pada prakteknya belum dapat diterapkan secara optimal, hal ini disebabkan Lingkungan Hidup di Indonesia sangat dipengaruhi banyak kepentingan, khususnya kepentingan ekonomi (sektor: pertambangan, pertanian, perkebunan, industri dan permukiman) baik berskala lokal, nasional maupun internasional
4.Dengan telah diberikan dasar hukum yang kuat atas peran serta masyarakat dan hak asasi manusia, sebagai warga negara Indonesia diharapkan masyarakat mampu memanfaatkan secara maksimal kekuatan tersebut, sehingga pengaruh yang menjadi faktor penyebab kurang optimal praktek penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat diatasi, dan keberadaan lingkungan hidup bagi kesejahteraan dan keamanan kehidupan manusia dan pelestarian lingkungan itu sendiri dapat lebih terwujud.






DAFTAR PUSTAKA.


1.J.B. Daliyo, S.H, Pengantar Hukum Indonesia – Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prenhallindo, Jakarta, Tahun 2001.
2.R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia - Bogor, Cetakan: Tahun 1995.
3.R. Subekti, SH, Prof., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – Burgerlijk Wetboek, Pradnya Paramita - Jakarta, Cetakan: Tahun 2009.
4.M. Karjadi, Kombes Pol pnw, R. Soesilo, Ajun Kombes Pol pnw, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politeia – Bogor, Cetakan: Tahun 1997.
5.Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Citra Umbara – Bandung, Cetakan: Nopember 2009, dilengkapi:
-UU RI No. 23 Tahun.1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
-PP RI No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
-PP RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
-PP RI No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
-PP RI No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
-KEPMEN Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2009.
6.Koesnadi Hardjasoemantri, SH, Prof., Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,Yogyakarta,l999.
7.Moenadjat Danusaaputro, Hukum Lingkungan, Buku I s./d V, Bina Cipta, Jakarta, l982
8.Siti Sundari Rangkuti, Prof., Hukum dan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya,2005


sumber : Mustika Ali Sani

»»  Baca Selanjutnya...